Senin, 23 September 2013

Maqam Al-Basthu

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Manusia sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun memiliki panca indara (anggota tubuh), akal pikiran dan hati sanubari. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat, berdaya guna dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk menghasilkan kondisi seperti itu ada tiga ilmu yang berperan penting. Yang pertama, fiqih berperan dalam membersihkan dan menyehatkan penca indra dan anggoa tubuh. Istilah  yang digunakan fiqih untuk untuk pembersihan dan penyehatan panca indra dan anggota tubuh ini disebut thoharoh (besuci). Karena fiqih banyak berurusan dengan dimensi lahiriyah manusia. Kedua filsafat berperan dalam menggerakan, menyehatkan dan meluruskan akal pikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan denga metafisik manusia, dalam rangka menghasilkan konsep-konsep yang menjelaskan inti tentang sesuatu. Ketiga tasawuf berperan dalam membersihkan hati sanubari. Karenanya tasawuf banyak berhubungan dengan dimensi batin manusia.
            Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin ahlak yang mulia dan dekat dengan Allah Swt. Inilah esensi atau hakikat tasawuf itu sendiri.
            Dalam tasawuf terdapat beberapa maqamat dan ahwal untuk menuju kepada Allah. Semua itu harus dimulai tahap demi tahap hingga mencapai tahap yang tertinggi. Di dalam maqamat tersebut tentunya seseorang mengalami kondisi atau hal yang berkaitan dengan tingkat maqam dimana orang itu berada.
            Oleh karena itu, pemakalah ingin mengurai sedikit tentang salah satu maqam dalam tasawuf yang disebut al-bastu. Semua itu merupakan salah satu upaya agar kita dapat mengerti dan menerapkan konsep al-basthu dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi insan yang lebih dekat dengan Sang Khaliq, Allah SWT.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apakah yang dimaksud al-Basthu?
2.    Bagaimanakah proses terjadinya al-Basthu?
3.    Bagaimanakah kondisi seseorang ketika pada maqam al-Basthu?
4.    Bagaimanakah makna al-Basthu dalam kehidupan?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian al-Basthu.
2.      Mengetahui proses terjadinya al-Basthu.
3.      Mengetahui kondisi seseorang ketika pada maqam al-Basthu.
4.      Mengetahui makna al-Basthu dalam kehidupan.


BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian al-Basthu
Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin mengatakan, "Al-Basthu artinya membentangkan amal dan zhahir hamba di atas keharusan ilmu dan menyelimuti batinnya dengan kain cinta. Mereka adalah orang-orang yang mengenakan kain penutup. Mereka membentangkan diri di medan pembentangan." Maksudnya, karena amal dan zhahirnya terbentang berdasarkan ilmu, dan batinnya dipenuhi cinta kepada Allah, maka dia memiliki keindahan zhahir dan batin. Tentang dua macam keindahan ini telah disebutkan Allah di beberapa tempat dalam Al-Qur'an, seperti firman-Nya,
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan, pakaian takwa itulah yang paling baik." (Al-A'raf: 26).[1]
Pengarang Manazilus-Sa'irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah al-basthu (pembentangan) ini,
"Dan Dia menjadikan kalian berkembang biak dengan jalan itu." (Asy-Syura: 11).
Sisi pelandasannya kepada ayat ini, bahwa Allah memberikan kehidupan kepada kalian dengan apa-apa yang diciptakan-Nya bagi kalian, berupa binatang ternak seperti yang telah disebutkan-Nya. Menurut Al-Kalby, Allah memperbanyak jumlah kalian karena saling berpasang-pasangan. Andaikan tidak ada pasang-pasangan ini, tentu tidak akan ada keturunan yang bersinambungan. Maknanya yang lebih pas, bahwa Allah menjadikan pasangan bagi kalian, karena yang menjadi sebab penciptaan bagi makhluk adalah pasangan.

  1. Proses terjadinya al-Basthu
Maqam al-basthu seringkali datang secara tiba-tiba dan spon­tan. Dia datang dan menabrak salik secara tak terduga sehingga tidak diketahui apa sebabnya. Dia bergerak, menguasai, dan memberi inspirasi salik yang didatanginya. Karena itu, bagi salik yang mengalami semacam ini sebaiknya diam dan menjaga serta meniti-niti perilaku batinnya (juga zhahirnya). Pada saat demikian, dia mengalami goncangan batin dan kekhawatiran yang sangat besar. Karena itu, ajaran sufi mengajarkannya supaya hati-hati dan waspada pada tipudaya (hati atau rasa) yang halus dan Samar; sebagaimana yang pernah dikatakan oleh segolongan kaum sufi, “Telah dibukakan padaku pintu al-qabdhu, lalu aku tergelincir pada kekeliruan sehingga menutupi maqamku. Karena itu, diamlah di maqam al-bisath dan waspadailah kegembiraan yang meluap (tak terkontrol).”[2]
 Bahkan, sikap pemaksaan semacam ini harus dijalani dengan pasrah pada hukum waktu, maka secara pelan dan pasti al­-basthu itu akan datang karena Allah telah berfirman:
“Dan, Allah Dzat Yang Menggenggam (Al-Qabidh), dan Yang Melapangkan (Al-Basith). Hanya kepada-Nya kalian akan dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Ahli hakikat mengatagorikan dua keadaan, al-qabdhu dan al-basthu sebagai bentuk gangguan proses penyucian diri yang mesti (dilalui) yang dimohonkan kepada Allah supaya dilindungi dari bahaya keduanya. Karena, keduanya bersandar pada apa yang di atasnya (proses kelanjutannya) berupa leburnya diri salik dan masuk dalam alam hakikat yang penuh krisis dan bahaya (tipu daya hati yang amat lembut).[3]
“Al-basthu adalah tempat terpelesetnya seorang hamba yang Agung ‘arifin, karena mereka harus menambah kewaspadaan dan pengasingannya kepada Alloh SWT. Sedangkan Al Qobdhu itu lebih membuat mereka aman, karena Al Qobdhu adalah tempat seorang hamba. Seorang hamba itu berada dalam tawanan genggaman Alloh SWT dan lingkaran penjagaan Al Haq yang memagarinya. Dari mana mereka itu bisa keluar dari hukum waktunya. Al Qobdhu adalah tempat yang pantas bagi seorang hamba.
Banyak sekali orang yang terpeleset saat berada dalam kondisi riang hati (basthu) sebab kondisi tersebut sesuai dengan keinginan nafsu yang cenderung membuat orang mabuk kepayang dan kehilangan kesadaran. Imam Ja’far as-Shodiq berkata; “Tidak ada kenyamanan didunia ini maka janganlah engkau mencarinya, percuma saja. Sebab dunia ini adalah tempat taklif. Bila mendapatkan nikmat harus begini dan begitu. Bila mendapat musibah juga harus begini dan begitu. Jadi sama sekali tidak ada kenyamanan di dunia ini.[4]

  1. Kondisi (hal) Pada Maqam al-Basthu
Seorang hamba yang terlapangkan (Al Mabsuth), dalam kondisi demikian, kelapangan atau kegembiraan yang memperluas atau melapangkan kemakhlukannya tidak membuatnya merasa jijik pada sesuatu (di matanya segalanya terasa lapang dan menyenangkan). Hamba yang mabsuth tidak akan terpengaruh oleh sesuatu yang berkaitan dengan hal (keadaan yang mengkondisikan suasana batinnya).
Abu Ali Ad-Daqaq, berkata, “Sejumlah orang pernah mengunjungi Ali Abu Bakar Al-Qahthi, seorang ulama sufi yang zahid. Dia mempunyai seorang putra laki-laki yang mengambil sesuatu yang biasa diambil anak-anak (berupa sesuatu. yang jelek tapi halal). Anak ini sedang berada di pintu masuk. Ketika dia tenggelam dalam permainan bersama kawan-kawannya, pengunjung tersebut terenyuh dan prihatin melihat keadaan Al-Qahthi, lalu bergumam,’Miskin.. Guru ini benar-benar miskin. Bagaimana dia sampai tega menguji anaknya dengan sesuatu yang jelek (menyakitkan dan berat).’Begitu masuk di kediaman Al-Qahthi, pengunjung itu tidak menemukan satu pun alat penghibur (sara­na dan fasilitas hidup) di dalamnya, sehingga membuatnya tambah heran dan berkata,Sungguh aku menjadikan diriku sebagai tebusan bagi orang (Al-Qahthi) yang gunung pun tidak akari mampu mempengaruhi.’ Kemudian Al-Qahthi menjawab, ‘Sesungguhnya kami dalam kehanyutan beribadah telah dibebaskan dari belenggu (ketergantungan hati) sesuatu.[5]
Kadang-kadang beberapa al-warid yang mengharuskan kehadiran isyarat (makna atau dorongan) pendekatan diri pada Allah, atau kelembutan (kepekaan) rasa dan kelapangan dapat memunculkan terjadinya al-basthu (kelapangan) dalam hati. Kare­na itu, dalam rantai kesatuan rasa, kehadiran al-qabdhu bagi setiap hamba terjadi menurut sifat al-basthunya; begitu juga dengan al­basthu, kehadirannya tergantung al-qabdhu.[6]
D.    Makna al-Basthu dalam Kehidupan
Kehidupan ini ada dua macam kehidupan, yaitu kehidupan badan dan kehidupan ruh. Karena Allahlah yang menghidupkan hati dan ruh para wali-Nya dengan kemuliaan, kasih sayang dan pembentangan-Nya, berarti Dia pula yang mengembangbiakkan yang demikian itu bagi mereka.
Lafadh ini mengandung makna membentangkan dan meluaskan sesuatu. Dan hal ini merupakan ungkapan bagi segala sesuatu yang dibentangkan atau diluaskan. Hal ini akan terlihat jelas dalam beberapa ungkapan ayat Al-Quran, di antaranya :
وَاللهُ جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ بِسَاطًا. (نوح: 19)
Dan Allah menjadikan bumi bagimu sebagai hamparan (luas bentangannya).”
Lafadh ini sewaktu-waktu diungkapkan untuk perkara yang abstrak, perkara yang sulit untuk diungkapkan secara konkrit/zhahir.
"Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafakahkannya di jalan Allah). Maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rizqi. Dan hanya kepada-Nya lah kamu akan dikembalikan."
Bahwa kelapangan, keluasan rizqi harus diimbangi dengan amal yang shalih agar tidak menjadi beban baginya. Memberi pinjaman kepada Allah merupakan ungkapan infaq fi sabilillah dan yang sejenis dengannya. Sebab dengan cara seperti itu berarti dia mampu mensyukuri nikmat kelapangan rizqi yang diberikan Allah kepadanya.
Sejak zaman dahulu, dalam lingkungan sosial orang yang berharta biasanya dianggap mempunyai kelebihan daripada yang lainnya. Oleh karenanya mereka mengangkat pemimpin biasanya orang yang dianggap kaya atau kuat fisiknya.
Bahkan sampai sekarang pun masih berlaku, yang dianggap paling tinggi tingkatan sosialnya adalah dari segi kekayaan. Oleh karenanya wajar apabila mereka senantiasa bersaing dalam kehidupan dunia ini.
Maka Allah menjelaskan, bahwa hakikatnya yang paling tinggi tingkatan sosial seseorang adalah dari segi ketaqwaan dan apabila persaingan dari segi ketaqwaan adalah persaingan yang sehat. Karena persaingan ini tujuannya adalah menjaga diri, sedangkan persaingan dalam kekayaan tujuannya adalah menjaga harga diri. Hal ini sebagaimana diungkapkan pada QS. Asy-Syura: 27.
Ada yang berpendapat, bahwa luas dalam ilmu itu ialah dia memanfaatkan ilmunya bagi dirinya sendiri dan memberi manfaat kepada yang lainnya.[7]
 Dan jika Allah meluaskan rizqi kepada hamba-hamba-Nya pastilah mereka akan melampui batas di muka bumi. Tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.(Al-Syura: 27).
BAB III
KESIMPULAN
Menurut pengarang kitab Manazilus-Sa'irin mengatakan, "Al-Basthu artinya membentangkan amal dan zhahir hamba di atas keharusan ilmu dan me-nyelimuti batinnya dengan kain cinta.
Kehidupan ini ada dua macam kehidupan, yaitu kehidupan badan dan kehidupan ruh. Karena Allahlah yang menghidupkan hati dan ruh para wali-Nya dengan kemuliaan, kasih sayang dan pembentangan-Nya, berarti Dia pula yang mengembangbiakkan yang demikian itu bagi mereka.
Lafadh ini mengandung makna membentangkan dan meluaskan sesuatu. Dan hal ini merupakan ungkapan bagi segala sesuatu yang dibentangkan atau diluaskan.
Maka, kelapangan, keluasan rizqi harus diimbangi dengan amal yang shalih agar tidak menjadi beban baginya. Memberi pinjaman kepada Allah merupakan ungkapan infaq fi sabilillah dan yang sejenis dengannya. Sebab dengan cara seperti itu berarti dia mampu mensyukuri nikmat kelapangan rizqi yang diberikan Allah kepadanya.
Seorang hamba yang terlapangkan (Al Mabsuth), dalam kondisi demikian, kelapangan atau kegembiraan yang memperluas atau melapangkan kemakhlukannya tidak membuatnya merasa jijik pada sesuatu (di matanya segalanya terasa lapang dan menyenangkan). Hamba yang mabsuth tidak akan terpengaruh oleh sesuatu yang berkaitan dengan hal (keadaan yang mengkondisikan suasana batinnya).
Maqam al-basthu seringkali datang secara tiba-tiba dan spon­tan. Dia datang dan menabrak salik secara tak terduga sehingga tidak diketahui apa sebabnya.
DAFTAR PUSTAKA
Manazilus-Sa'irin, Bagian 2
masjidal-hidayah.blogspot.com
http://warkopmbahlalar.com



[1] Manazilus-Sa'irin, Bagian 2
[3] Ibid
[4] http://warkopmbahlalar.com
[6] Ibid
[7] masjidal-hidayah.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto Saya
Saya hanyalah orang biasa yang belum banyak memiliki pengalaman. Saya Tidak Lebih Baik dari Anda.

Search