Rabu, 25 September 2013

Ada' wa Tahammul

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Al-Ada’ Wa Tahammul
Yang dimaksud dengan ada’ adalah ibarat yang dipakai ahli hadits (al-muhaddits) ketika meriwayatkan hadits dan membacanya didepan para muridnya, seperi istilah: Sami’tu, Haddastani atau akhbarani.[1] Yang dimaksud dengan Tahammul adalah bentuk  pengambilan hadits dari guru-guru (syuyukh).[2]

B.       Komponen-komponen Penting Dalam Ada’ Wa Tahammul
Mayoritas ulama hadits, ushul dan fiqih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘aadalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (tsiqahi). Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu:
  1. Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadis, maka seorang perawi harus muslim dan menurut ijma’, periwayatan kafir tidak sah.
  1. Baligh
Yang dimaksud dengan baligh adalah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits walau penerimanya belum baligh.
  1. Berakal[3]
C.      Metode-metode Ada’ Wa Tahammul
Para Ulama’ menggolongkan metode ini menjadi delapan golongan:
1.    Al-Sima’
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya dengan cara didektekan baik dari hafalanya maupun dari tulisanya. Sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang di sampaikanya tersebut. Menurut jumhur ulama’ hadist bahwa cara ini merupakan cara penerimaan hadist yang paling tinggi tingkatanya. Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa al-sama’ yang di barengi dengan al-kitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat. Karena terjamin kebenaranya dan terhindar dari kesalahan di banding dengan cara-cara lainya. Di samping para sahabat juga menerima hadist dari Nabi Muhammad saw dengan cara seperti ini.                                                                             
2.    Al-Qira’ah ’Ala Al-Syaikh atau ‘Aradh Al-Qiraah.
Yakni suatu cara penerimaan hadist dengan cara seseorang membacakan hadist di hadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedang sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru menghafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisanya atau dia tergolong tsiqqah.
3.    Al-Ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: “Saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku”.
4.    Al-Munawalah
Yakni seorang guru memberikan hadist atau beberapa hadist atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan,bahwa al-munawalah ialah seorang guru memberi kepada seorang murid,kitab asli yang di dengar dari gurunya,atau sesuatu naskah yang sudah di cocokan, sambil berkata”inilah hadist-hadist yang sudah saya dengar dari seseorang,maka riwayatkanlah hadist itu dariku dan saya ijazahkan kepadamu untuk diriwayatkan”.
Al-Munawalah dibagi menjadi dua bentuk:
a.       Al-Munawalah dibarengi dengan ijazah
Seperti sang murid membacakan naskah yang diperoleh dari gurunya, kemudian sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada muridnya untuk diriwayatkan darinya.
b.      Al-Munawalah tanpa dibarengi ijazah
Seperti perkataan guru kepada muridnya “ini hadits saya” dan tidak mengatakan “riwayatkanlah dariku atau saya ijazahkan kepadamu”.
5.      Al-Mukatabah
Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian haditsnya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
Al-Mukatabah dibagi menjadi dua macam:
a.       Al-Mukatabah yang dibarengi dengan ijazah
Yaitu sewaktu sang guru menuliskan beberapa hadits untuk diberikan kepada muridnya disertai dengan kata-kata “ini adalah hasilperiwyatanku, maka riwayatkanlah”.
b.      Al-Mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah
Yaitu guru menuliskan hadits untuk diberikan kepada muridnya tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkan.
6.    Al-I’lam
Yakni pemberitahuan guru kepada muridnya, kitab atau hadits yang diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru), tanpa diberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya atau menyuruhnya.
Contoh: “seseorang telah memberitahukan  kepadaku: telah berkata kepada kami....”
7.      Al-Wasiyah
Yakni seorang guru, ketika akan meninggal atau bepergian, meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits atau kitabnya, setelah guru meninggal atau bepergian.
8.      Al-Wijadah
Yakni seseorang memperoleh hadits orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadits dengan tidak melalui al-sama’, al-ijazah dan al-munawalah.[4]

BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika perawi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadits.

B.   Penutup
Sekilas uraian tentang Al-Ada’ Wa Tahammul, tentunya penulis banyak melakukan kesalahan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami perlukan demi pembuatan makalah yang lebih baik.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai penambah wacana bagi para pembaca, Amiin.








DAFTAR PUSTAKA

Al-Hakim, Ma’rifatu ulumil hadits. Lebanon. 2002
Ibn al-Sholah, Ulumul Hadits
. Lebanon. 2011
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers. 2011



[1] Al-Hakim, Ma’rifatul Ulumi Hadits, hlm 112
[2] Ibnu al-Sholah, Ulumul Hadits, hlm 132
[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis,(Jakarta: Rajawali Pers, 2011) hlm 205-206
[4] Ibid, hlm. 198-204

0 komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto Saya
Saya hanyalah orang biasa yang belum banyak memiliki pengalaman. Saya Tidak Lebih Baik dari Anda.

Search