Rabu, 25 September 2013

HUKUM DAN KETENTUAN I’TIKAF

HUKUM DAN KETENTUAN I’TIKAF

A.    Makna I’tikaf
      I’tikaf secara bahasa berarti berdiam diri, yakni menetap pada sesuatu. Sedangkan secara istilah adalah berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunnahkan untuk dikerjakan setiap waktu, dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat. I’tikaf lebih diutamakan pada bulan Ramadhan, khususnya pada hari ke sepuluh yang terakhir untuk mengharapkan datangnya lailatul qadar.
B.     Hukum I’tikaf
      Di antara amalan sunnah di dalam bulan ramadhan adalah i’tikaf. I’tikaf adalah berdiam di dalam masjid guna menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Hukumnya adalah sunnah berdasarkan firman Allah Ta’ala:
. الْمَسَاجِدِ فِي عَاكِفُونَ وَأَنْتُمْ تُبَاشِرُوهُنَّ وَلا
 “Dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istri kalian) itu, sedang kalian beri’tikaf di dalam masjid-masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Ayat di atas memberikan beberapa hukum:
1.      Disyariatkannya i’tikaf,
2.      Tidak sah i’tikaf kecuali di masjid,
3.      Tidak boleh melakukan jima’ dalam keadaan i’tikaf walaupun di malam hari.

C.    Tujuan I’tikaf
1.      Dalam rangka menghidupkan sunnah sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam rangka pencapaian ketakwaan hamba,
2.      Sebagai salah satu bentuk penghormatan kita dalam meramaikan bulan suci ramadhan yang penuh berkah dan rahmat dari Allah SWT,
3.      Menunggu saat-saat yang baik untuk turunnya Lailatul Qadar yang nilainya sama dengan ibadah seribu bulan,
4.      Membina rasa kesadaran iman kepada Allah dan tawadlu’ di hadapan-Nya, sebagai makhluk Allah yang lemah.
Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
      Ibnu Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”
Dari Abu Hurairah, ia berkata,: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits Ibnu Umar, ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari-hari terakhir bulan Ramadhan.”
I’tikaf  Bagi Wanita
1.      Diperbolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf bersama suaminya atau sendirian. Dengan syarat: Ada izin dari walinya (suami atau orang tuanya) serta aman dari fitnah atau berdua-duaan dengan laki-laki. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan sampai Allah merwafatkan beliau. Kemudian para istri beliau beri’tikaf setelah beliau meninggal.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim),
2.      Diperbolehkan bagi wanita mustahadhah untuk melakukan i’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan, “Salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang istihadhah beri’tikaf bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang wanita ini melihat darah kekuningan dan darah kemerahan.” (H.r. Al-Bukhari)


D.    Rukun I’tikaf
Rukun-rukun i’tikaf antara lain:
1.      Niat. Letak niat itu di hati dan tidak boleh dilafalkan. Sebatas keinginan untuk i’tikaf itu sudah dianggap berniat untuk i’tikaf.
2.      Dilakukan di masjid, dengan memperbanyak dzikir, membaca tasbih dan diutamakan memeperbanyak membaca Al-Qur’an.
3.      Menetap di masjid.
Lama Waktu Berdiam di Masjid
      Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.
      Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari. Al Mardawi rahimahullah mengatakan,“Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”

E.     Hal-hal yang Membatalkan I’tikaf
Beberapa hal yang membatalkan i’tikaf yaitu:
1.      Bercampur dengan istri.
2.      Hilang akal karena gila atau mabuk.
3.      Murtad (keluar dari agama).
4.      Datang haid atau nifas dan semua yang mendatangkan hadas besar.
5.      Keluar dari masjid tanpa ada keperluan yang mendesak atau uzur, karena maksud I’tikaf adalah berdiam diri di dalam masjid dengan tujuan hanya untuk ibadah.
6.      Orang yang sakit dan  membawa kesulitan dalam melaksanakan I’tikaf.

F.     Hikmah I’tikaf
Beberapa hikmah I’tikaf adalah sebagai berikut:
1.      Mendidik diri kita lebih taat dan tunduk kepada Allah.
2.      Seseorang yang tinggal di masjid mudah untuk memerangi hawa nafsunya, karena masjid adalah tempat beribadah dan membersihkan  jiwa.
3.      Masjid merupakan madrasah ruhiyah yang sudah barang tentu selama sepuluh hari ataupun lebih hati kita akan terdidik untuk selalu suci dan bersih.
4.      Tempat dan saat yang baik untuk menjemput datangnya Lailatul Qadar.
5.      I'tikaf adalah salah satu cara untuk meramaikan masjid,
6.      Dan ibadah ini adalah salah satu cara untuk menghormati bulan suci Ramadhan.










KESIMPULAN

     Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ibadah i’tikaf adalah sunnah. Seseorang diwajibkan beri’tikaf apabila seseorang tersebut mempunyai nadzar untuk beri’tikaf. Wanita juga boleh beri’tikaf dengan ketentuan mendapatkan izin dari suami atau walinya.
      I’tikaf mendidik kita lebih taat dan tunduk kepada Allah. Dengan beri’tikaf seseorang bisa lebih mudah memerangi hawa nafsunya dan membersihkan jiwa. Dan beri’tikaf juga merupakan salah satu cara untuk meramaikan masjid.






















DAFTAR PUSTAKA

Al Kubaisi, Ahmad Abdurrazaq, I’tikaf  Penting dan Perlu, Gema Insani, Jakarta, 2003.
Al Qur’an.

Rifa’I, Moh, Fiqih Islam Lengkap, PT. Karya Toha, Semarang.

0 komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto Saya
Saya hanyalah orang biasa yang belum banyak memiliki pengalaman. Saya Tidak Lebih Baik dari Anda.

Search