BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia mempunyai kepribadian/kejiwaan
masing-masing yang terbentuk selama perjalanan kehidupan yang dia alami.
Adaptasi pada manusia tergantung pada penyesuaian dirinya sendiri. Pada situasi
baru, karena manusia tidak sepenuhnya bergantung pada gen, seperti kebanyakan
hewan. Adaptasi manusia bergantung pada sifat bawaan sehingga diperlukan waktu untuk belajar, jadi
kemampuan penyesuaiannya benar-benar sangat kecil/minimal karena refleks dan
insting terkait kuat dengan suatu lingkungan tertentu.
Menurut Roham (1995), manusia hidup dilingkari
(dipengaruhi) oleh berbagai kebutuhan dan kekurangan. Iman manusia senantiasa
dalam ujian dan perjuangan sesuai dengan pembelajaran. Kadang-kadang Iman-Islam
seseorang cemerlang diwaktu pagi lalu surut redam pada waktu sore harinya.
Pengaruh lingkungan sangat dominan, terhadap mutu Iman-Islam seseorang.[1]
Oleh karena itu, kaimi disini akan membahas tentang
gangguan dalam perkembangan jiwa keagamaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
terhadap perkembangan jiwa beragama agar kita dapat mengerti pentingnya
mengarahkan diri terhadap hal-hal positif supaya menjadi insan yang lebih
bermutu.
B.
Rumusan
Masalah
1. Faktor
apa saja yang mempengaruhi gangguan perkembangan jiwa keagamaan?
2. Apa
saja yang termasuk gangguan faktor intern seseorang?
3. Apa
saja yang termasuk gangguan faktor ekstern seseorang?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan perkembangan jiwa keagamaan.
2. Mengetahui
gangguan faktor intern seseorang.
3. Mengetahui
gangguan faktor ekstern seseorang.
BAB II
PEMBAHASAN
Sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara
pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan dalam diri seseorang.
Hal ini menunjukkan bahwa sikap keagamaan menyangkut atau berhubungan erat
dengan gejala kejiwaan.[2]
Pada garis besarnya teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa
keagamaan berasal dari faktor intern dan dari faktor ekstern manusia. Pendapat
pertama menyatakan bahwa manusia adalah homo religius (makhluk beragama),
karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama. Potensi tersebut
bersumber dari faktor intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaan manusia
seperti naluri, akal, perasaan maupun kehendak dan sebagainya. Namun, pendukung
teori ini masih berbeda pendapat mengenai faktor mana yang paling dominan.
Sebaliknya teori kedua menyatakan bahwa jiwa keagamaan manusia
bersumber dari faktor ekstern. Manusia terdorong untuk beragama karena pengaruh
faktor luar dirinya, seperti rasa takut, rasa ketergantungan ataupun rasa
bersalah (sense of guilt). Faktor-faktor
inilah yang menurut pendukung teori tersebut kemudian mendorong manusia
menciptakan suatu tata cara pemujaan dan dikenal dengan nama agama.[3]
Berbagai pendekatan yang digunakan tersebut mengisyaratkan
bahwa jika jiwa keagamaan bukan merupakan aspek psikis bersifat instinktif,
yaitu unsur bawaan yang siap pakai. Jiwa keagamaan juga mengalami proses
perkembangan dalam mencapai tingkat kematangannya. Dengan demikian, jiwa
keagamaan tidak luput dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi
perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang bersumber dari dalam diri
seseorang maupun yang bersumber dari faktor luar.[4]
A.
Faktor
Intern
Faktor-faktor intern yang berpengaruh
terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain adalah faktor hereditas,
tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang.
1.
Faktor
Hereditas
Jiwa keagamaan memang bukan secara
langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun-temurun, melainkan
terbentuk dari unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif dan
konatif. Tetapi dalam penelitian terhadap janin terungkap bahwa makanan dan
perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya. Rasul saw.
Menyatakan bahwa daging dari makanan yang haram, maka nerakalah yang lebih
berhak atasnya. Pernyataan ini setidaknya menunjukkan bahwa ada hubungan antara
status hukum makanan (halal dan haram) dengan sikap.
Selain itu Rasul saw. Juga menganjurkan
untuk memilih pasangan hidup yang baik dalam membina rumah tangga, sebab
menurut beliau keturunan berpengaruh. (As-iSyaibany, 1979: 140). Benih berasal
dari keturunan tercela dapat mempengaruhi sifat-sifat keturunan berikutnya.
Karenaya menurut Rasul saw. Selanjutnya: “Hati-hatilah dengan Hadra Al-Diman yaitu
wanita cantik dari lingkungan yang jelek.” (Sayid Mujtaba dan Musawi Lari,
1977: 93).
Perbuatan yang buruk dan tercela jika
dilakukan, menurut Sigmund Freud akan menimbulkan rasa bersalah (sense of guilt) dalam diri pelakunya.
Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan agama, maka pada diri
pelakunya akan timbul rasa berdosa. Dan perasaan seperti ini barangkali yang
ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang sebagai unsur
hereditas. Sebab, dari berbagai kasus pelaku zina sebagian besar memiliki latar
belakang keturunan dengan kasus serupa.[5]
2.
Tingkat
Usia
Hubungan antara perkembangan usia dengan
perkembangan jiwa keagamaan tampaknya tak dapat dihilangkan begitu saja. Bila
konversi lebih dipengaruhi oleh sugesti, maka tentunya konversi akan lebih
banyak terjadi pada anak-anak, mengingat di tingkat usia tersebut mereka lebih
mudah menerima sugesti. Namun, kenyataannyahingga usia baya pun masih terjadi
konversi agama.
Terlepas dari ada tidaknya hubungan
konversi dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan antara tingkat usia
dengan perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak dapat diabaikan begitu saja.
Berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan adanya hubungan tersebut,
meskipun tingkat usia bukan merupakan satu-satunya faktor penentu dalam
perkembangan jiwa keagamaan seseorang. Yang jelas, kenyataan ini dapat dilihat
dari adanya perbedaan pemahanan agama pada tingkat usia yang berbeda.[6]
3.
Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi
terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan
antara unsur hereditas dengan pengaruh lingkungan inilah yang membentuk
kepribadian (Arno F. Wittig, 1977:238). Adanya kedua unsur yang membentuk
kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi
lebih ditekankan kepada unsur bawaan, sedangkan karakter lebih ditekankan oleh
adanya pengaruh lingkungan.
Dilihat dari pandangan tipologis,
kepribadian manusia tidak dapat diubah karena sudah terbentuk berdasarkan
komposisi yang terdapat dalam tubuh (Crijns dan Reksosiswojo:234). Sebaliknya,
dilihat dari pendekatan karalterologis, kepribadian manusia dapat diubah dan
tergantung dari pengaruh lingkungan masing-masing.
Dari pendekatan tipologis maupun
karakterologis, maka terlihat ada unsur-unsur yang bersifat tetap dan unsur-unsur
yang dapat berubah membentuk struktur kepribadian manusia. Unsur-unsur yang
bersifat tetap berasal dari unsur bawaan, sedangkan yang dapat berubah adalah
karakter. Namun demikian, karakter pun menurut Erich Fromm relatif bersifat
permanen.[7]
Unsur pertama (bawaan) merupakan faktor
intern yang memberi ciri khas pada diri seseorang. Dan perbedaan ini
diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek kejiwaan termasuk
jiwa keagamaan.
4.
Kondisi
Kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini terkait dengan
kepribadian sebagai faktor intern. Ada beberapa model pendekatan yang
mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang dikemukakan Sigmund Freud menunjukkan
gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran
manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal.
Selanjutnyua, menurut pendekatan biomedis, fungsi tubuh yang dominan
mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau
kondisi sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku abnormal.
Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman kekinian
manusia. Dengan demikian, sikap manusia ditentukan oleh stimulan (rangsangan)
lingkungan yang dihadapinya saat itu.[8]
B.
Faktor
Ekstern
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh
dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan dimana
seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu
keluarga, institusi dan masyarakat.
1.
Lingkungan
Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang
paling sederhana dalam kehidupan manusia. Anggota-anggotanya terdiri atas ayah,
ibu dan anak-anak. Bagi anak-anak, keluarga merupakan lingkungan social pertama
yang dikenalnya. Dengan demikian, kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi
awal bagi pembentukan jiwa keagamaan anak.
Pengaruh kedua orang tua terhadap
perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan Islam sudah lama disadari.
Oleh karena itu, sebagai intervensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan
tersebut, kedua orang tua diberikan beban tanggung jawab. Ada semacam rangkaian
ketentuan yang dianjurkan kepada orang tua, yaitu mengadzankan ke telinga bayi
yang baru lahir, mengaqiqah, memberi nama yang baik, mengajarlkan membaca
Alqur’an, mrmbiasakan salat serta bimbingan lainnya yang sejalan dengan
perintah agama. Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam
meletakkan dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan.
2.
Lingkungan
Institusional
Lingkungan institusional yang ikut
mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal seperti
sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.
Sekolah sebagai institusi pendidikan
formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak.
Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu 1) kurikulum dan anak; 2) hubungan
guru dan murid; dan 3) hubungan antar anak (Y. Singgih D. Gunarsa, 1981:96) .
dilihat dari kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya ketiga kelompok tersebutikut berpengaruh.
Sebab, pada prinsipnya perkembangan jiwa keagamaan tak dapat dilepaskan dari
upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur. Dalam ketiga kelompok itu secara
umumtersirat unsur-unsur yang menopang pembentukan tersebut seperti ketekunan,
disiplin, kejujuran, simpati, sosiabilitas, toleransi, keteladanan, sabar dan
keadilan. Perlakuan dan pembiasaan bagi pembentukan sifat-sifat seperti itu
umumnya menjadi bagian dari program pendidikan di sekolah.
3.
Lingkungan
Masyarakat
Kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh
berbagai norma dan nilai-nilai yang didukung warganya. Karena itu, setiap warga
berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan norma dan nilai-nilai
yang ada. Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat memiliki suatu tatanan yang
terkondisi untuk dipatuhi bersama.
Lingkungan masyarakat yang memiliki
tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa
keagamaan anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun
institusi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam
pembentukan jiwa keagamaan warganya.
C.
Fanatisme
dan Ketaatan
Suatu tradisi keagamaan dapat
menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa seseorang, yaitu fanatisme dan
ketaatan. Mengacu kepada pendapat Erich Fromm bahwa karakter terbina melalui
asimilasi dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek
tersebut.[9]
David Riesman melihat bahwa tradisi
kultural sering dijadikan penentu dimana seseorang harus melakukan apa yang
telah dilakukan nenek moyang (Philip K. Back, 1980: 121). Dalam menyikapi
tradisi keagamaan juga tak jarang munculnya kecenderungan seperti itu. Jika
kecenderungan taqlid keagamaan tersebut dipengaruhi unsur emosional yang
berlebihan, maka terbuka peluang bagi pembenaran spesifik. Kondisi ini akan
menjurus kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan
beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab, ketaatan merupakan upaya
untuk menampilkan arahan dalam (inner
directed) dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.
D.
Cara
Mengatasi Gangguan Jiwa Beragama
Proses
perbaikan manusia selain memperbaiki organisasi tubuh dengan perintah syari’ah
dalam makan-minum yang halal, baik, cukup dan tidak berlebihan, maka perlu pula
memperbaiki aspek ilmu, pemahaman, dan kesadaran melalui serangkaian upaya da’wah
(penyampaian secara sistematis dan kontinyu mana yang benar dan mana yang
batil), tazkiyah (pembersihan Syubhat, musyrik, khurafat, dalam pikiran
sehingga virus-virus pemikiran, dan kesesatan cara berpikir dan pengetahuan
yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam pendidikan (tarbiyah) yang lebih sistematik, maka
kesalehan individu, kesalehan masyarakat dan kesalehan sistem bernegara menjadi
bagian terintegrasi untuk melahirkan manusia sempurna (Al-Insanu al-Kamil).[10]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B. Saran dan
Harapan
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Yadi. Psikolgi Kepribaian Integritas
Nafsiyah dan ‘Aqliyah. Bandung: PT Refika Aditama. 2007.
Purwonto, Yadi, dan Rachmat Mulyono. Psikologi Marah,
Persepektif Psikologi Islami. Bandung: PT. Refika Aditama. 2006.
[1] Yadi
Purwonto, dan Rachmat Mulyono, Psikologi Marah, Persepektif Psikologi Islami,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm 60.
[2] Psikologi Agama hlm 303.
[3] Ibid, hlm 304.
[4] Ibid, hlm 305.
[5] Ibid, 307.
[6] Ibid, 308.
[7] Ibid, 308-309.
[8] hlm 310.
[9] Ibid, hlm 314.
[10] Yadi
Purwanto, Psikolgi Kepribaian Integritas Nafsiyah dan ‘Aqliyah, (Bandung:
PT Refika Aditama, 2007), hlm.
156.
1 komentar:
mantappp bro..menambah pengetahuan
Posting Komentar