Senin, 23 September 2013

Gangguan dalam Perkembangan Jiwa Keagamaan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap manusia mempunyai kepribadian/kejiwaan masing-masing yang terbentuk selama perjalanan kehidupan yang dia alami. Adaptasi pada manusia tergantung pada penyesuaian dirinya sendiri. Pada situasi baru, karena manusia tidak sepenuhnya bergantung pada gen, seperti kebanyakan hewan. Adaptasi manusia bergantung pada sifat bawaan sehingga diperlukan waktu untuk belajar, jadi kemampuan penyesuaiannya benar-benar sangat kecil/minimal karena refleks dan insting terkait kuat dengan suatu lingkungan tertentu.
Menurut Roham (1995), manusia hidup dilingkari (dipengaruhi) oleh berbagai kebutuhan dan kekurangan. Iman manusia senantiasa dalam ujian dan perjuangan sesuai dengan pembelajaran. Kadang-kadang Iman-Islam seseorang cemerlang diwaktu pagi lalu surut redam pada waktu sore harinya. Pengaruh lingkungan sangat dominan, terhadap mutu Iman-Islam seseorang.[1]
Oleh karena itu, kaimi disini akan membahas tentang gangguan dalam perkembangan jiwa keagamaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap perkembangan jiwa beragama agar kita dapat mengerti pentingnya mengarahkan diri terhadap hal-hal positif supaya menjadi insan yang lebih bermutu.
B.     Rumusan Masalah
1.      Faktor apa saja yang mempengaruhi gangguan perkembangan jiwa keagamaan?
2.      Apa saja yang termasuk gangguan faktor intern seseorang?
3.      Apa saja yang termasuk gangguan faktor ekstern seseorang?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan perkembangan jiwa keagamaan.
2.      Mengetahui gangguan faktor intern seseorang.
3.      Mengetahui gangguan faktor ekstern seseorang.


BAB II
PEMBAHASAN
      Sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa sikap keagamaan menyangkut atau berhubungan erat dengan gejala kejiwaan.[2]
      Pada garis besarnya teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan berasal dari faktor intern dan dari faktor ekstern manusia. Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia adalah homo religius (makhluk beragama), karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama. Potensi tersebut bersumber dari faktor intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri, akal, perasaan maupun kehendak dan sebagainya. Namun, pendukung teori ini masih berbeda pendapat mengenai faktor mana yang paling dominan.
      Sebaliknya teori kedua menyatakan bahwa jiwa keagamaan manusia bersumber dari faktor ekstern. Manusia terdorong untuk beragama karena pengaruh faktor luar dirinya, seperti rasa takut, rasa ketergantungan ataupun rasa bersalah (sense of guilt). Faktor-faktor inilah yang menurut pendukung teori tersebut kemudian mendorong manusia menciptakan suatu tata cara pemujaan dan dikenal dengan nama agama.[3]
      Berbagai pendekatan yang digunakan tersebut mengisyaratkan bahwa jika jiwa keagamaan bukan merupakan aspek psikis bersifat instinktif, yaitu unsur bawaan yang siap pakai. Jiwa keagamaan juga mengalami proses perkembangan dalam mencapai tingkat kematangannya. Dengan demikian, jiwa keagamaan tidak luput dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang bersumber dari dalam diri seseorang maupun yang bersumber dari faktor luar.[4]
A.    Faktor Intern
Faktor-faktor intern yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain adalah faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang.
1.      Faktor Hereditas
Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun-temurun, melainkan terbentuk dari unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif dan konatif. Tetapi dalam penelitian terhadap janin terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya. Rasul saw. Menyatakan bahwa daging dari makanan yang haram, maka nerakalah yang lebih berhak atasnya. Pernyataan ini setidaknya menunjukkan bahwa ada hubungan antara status hukum makanan (halal dan haram) dengan sikap.
Selain itu Rasul saw. Juga menganjurkan untuk memilih pasangan hidup yang baik dalam membina rumah tangga, sebab menurut beliau keturunan berpengaruh. (As-iSyaibany, 1979: 140). Benih berasal dari keturunan tercela dapat mempengaruhi sifat-sifat keturunan berikutnya. Karenaya menurut Rasul saw. Selanjutnya: “Hati-hatilah dengan Hadra Al-Diman yaitu wanita cantik dari lingkungan yang jelek.” (Sayid Mujtaba dan Musawi Lari, 1977: 93).
Perbuatan yang buruk dan tercela jika dilakukan, menurut Sigmund Freud akan menimbulkan rasa bersalah (sense of guilt) dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan agama, maka pada diri pelakunya akan timbul rasa berdosa. Dan perasaan seperti ini barangkali yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang sebagai unsur hereditas. Sebab, dari berbagai kasus pelaku zina sebagian besar memiliki latar belakang keturunan dengan kasus serupa.[5]
2.      Tingkat Usia
Hubungan antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan tampaknya tak dapat dihilangkan begitu saja. Bila konversi lebih dipengaruhi oleh sugesti, maka tentunya konversi akan lebih banyak terjadi pada anak-anak, mengingat di tingkat usia tersebut mereka lebih mudah menerima sugesti. Namun, kenyataannyahingga usia baya pun masih terjadi konversi agama.
Terlepas dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan antara tingkat usia dengan perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak dapat diabaikan begitu saja. Berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan adanya hubungan tersebut, meskipun tingkat usia bukan merupakan satu-satunya faktor penentu dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang. Yang jelas, kenyataan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahanan agama pada tingkat usia yang berbeda.[6]
3.      Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur hereditas dengan pengaruh lingkungan inilah yang membentuk kepribadian (Arno F. Wittig, 1977:238). Adanya kedua unsur yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan kepada unsur bawaan, sedangkan karakter lebih ditekankan oleh adanya pengaruh lingkungan.
Dilihat dari pandangan tipologis, kepribadian manusia tidak dapat diubah karena sudah terbentuk berdasarkan komposisi yang terdapat dalam tubuh (Crijns dan Reksosiswojo:234). Sebaliknya, dilihat dari pendekatan karalterologis, kepribadian manusia dapat diubah dan tergantung dari pengaruh lingkungan masing-masing.
Dari pendekatan tipologis maupun karakterologis, maka terlihat ada unsur-unsur yang bersifat tetap dan unsur-unsur yang dapat berubah membentuk struktur kepribadian manusia. Unsur-unsur yang bersifat tetap berasal dari unsur bawaan, sedangkan yang dapat berubah adalah karakter. Namun demikian, karakter pun menurut Erich Fromm relatif bersifat permanen.[7]
Unsur pertama (bawaan) merupakan faktor intern yang memberi ciri khas pada diri seseorang. Dan perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan.
4.      Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang dikemukakan Sigmund Freud menunjukkan gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnyua, menurut pendekatan biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman kekinian manusia. Dengan demikian, sikap manusia ditentukan oleh stimulan (rangsangan) lingkungan yang dihadapinya saat itu.[8]
B.     Faktor Ekstern
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu keluarga, institusi dan masyarakat.
1.      Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Anggota-anggotanya terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. Bagi anak-anak, keluarga merupakan lingkungan social pertama yang dikenalnya. Dengan demikian, kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan anak.
Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan Islam sudah lama disadari. Oleh karena itu, sebagai intervensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan tersebut, kedua orang tua diberikan beban tanggung jawab. Ada semacam rangkaian ketentuan yang dianjurkan kepada orang tua, yaitu mengadzankan ke telinga bayi yang baru lahir, mengaqiqah, memberi nama yang baik, mengajarlkan membaca Alqur’an, mrmbiasakan salat serta bimbingan lainnya yang sejalan dengan perintah agama. Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan.
2.      Lingkungan Institusional
Lingkungan institusional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 1) kurikulum dan anak;  2) hubungan guru dan murid; dan 3) hubungan antar anak (Y. Singgih D. Gunarsa, 1981:96) . dilihat dari kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya  ketiga kelompok tersebutikut berpengaruh. Sebab, pada prinsipnya perkembangan jiwa keagamaan tak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur. Dalam ketiga kelompok itu secara umumtersirat unsur-unsur yang menopang pembentukan tersebut seperti ketekunan, disiplin, kejujuran, simpati, sosiabilitas, toleransi, keteladanan, sabar dan keadilan. Perlakuan dan pembiasaan bagi pembentukan sifat-sifat seperti itu umumnya menjadi bagian dari program pendidikan di sekolah.
3.      Lingkungan Masyarakat
Kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan nilai-nilai yang didukung warganya. Karena itu, setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan norma dan nilai-nilai yang ada. Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat memiliki suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhi bersama.
Lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan warganya.
C.    Fanatisme dan Ketaatan
Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu kepada pendapat Erich Fromm bahwa karakter terbina melalui asimilasi dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek tersebut.[9]
David Riesman melihat bahwa tradisi kultural sering dijadikan penentu dimana seseorang harus melakukan apa yang telah dilakukan nenek moyang (Philip K. Back, 1980: 121). Dalam menyikapi tradisi keagamaan juga tak jarang munculnya kecenderungan seperti itu. Jika kecenderungan taqlid keagamaan tersebut dipengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka terbuka peluang bagi pembenaran spesifik. Kondisi ini akan menjurus kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab, ketaatan merupakan upaya untuk menampilkan arahan dalam (inner directed) dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.
D.    Cara Mengatasi Gangguan Jiwa Beragama
Proses perbaikan manusia selain memperbaiki organisasi tubuh dengan perintah syari’ah dalam makan-minum yang halal, baik, cukup dan tidak berlebihan, maka perlu pula memperbaiki aspek ilmu, pemahaman, dan kesadaran melalui serangkaian upaya da’wah (penyampaian secara sistematis dan kontinyu mana yang benar dan mana yang batil), tazkiyah (pembersihan Syubhat, musyrik, khurafat, dalam pikiran sehingga virus-virus pemikiran, dan  kesesatan cara berpikir dan pengetahuan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam pendidikan (tarbiyah) yang lebih sistematik, maka kesalehan individu, kesalehan masyarakat dan kesalehan sistem bernegara menjadi bagian terintegrasi untuk melahirkan manusia sempurna (Al-Insanu al-Kamil).[10]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan


B.     Saran dan Harapan
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Yadi. Psikolgi Kepribaian Integritas Nafsiyah dan ‘Aqliyah. Bandung: PT Refika Aditama. 2007.
Purwonto, Yadi, dan Rachmat Mulyono. Psikologi Marah, Persepektif Psikologi Islami. Bandung: PT. Refika Aditama. 2006.



[1] Yadi Purwonto, dan Rachmat Mulyono, Psikologi Marah, Persepektif Psikologi Islami, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm 60.
[2] Psikologi Agama hlm 303.
[3] Ibid, hlm 304.
[4] Ibid, hlm 305.
[5] Ibid, 307.
[6] Ibid, 308.
[7] Ibid, 308-309.
[8] hlm 310.
[9] Ibid, hlm 314.
[10] Yadi Purwanto, Psikolgi Kepribaian Integritas Nafsiyah dan ‘Aqliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hlm. 156.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

mantappp bro..menambah pengetahuan

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto Saya
Saya hanyalah orang biasa yang belum banyak memiliki pengalaman. Saya Tidak Lebih Baik dari Anda.

Search