BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Membicarakan peserta didik, sesungguhnya
membicarakan tentang hakekat manusia yang memerlukan bimbingan. Ia juga
merupakan salah satu unsur pendidikan yang mutlak harus wujud di samping
pendidik. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 3 menjelaskan bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis
pendidikan tertentu.
Dalam perspektif pendidikan, termasuk di
dalamnya pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek sekaligus objek
pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain yang disebut pendidik, untuk
membantu mengarahkan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta
membimbingnya menuju kedewasaan.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya antara lain:
1.
Apa
pengertian peserta didik dalam pendidikan islam?
2.
Bagaimana
konsep tentang fitrah?
3.
Apa
peranan peserta didik?
4.
Bagaimana
mengenai pendidikan seumur hidup?
C.
Tujuan
Penulisan
Dari rumusan
masalah tersebut, maka tujuan dari penulis adalah:
1.
Mengetahui
pengertian peserta didik dalam pendidikan islam?
2.
Mengetahui
konsep tentang fitrah?
3.
Mengetahui
peranan peserta didik?
4.
Mengetahui
mengenai pendidikan seumur hidup?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Peserta Didik Dalam
Pendidikan Islam
Dalam bahasa
arab peserta didik dikenal dengan tiga istilah yang sering digunakan untuk
menunjukkan pada anak didik kita. Tiga istilah tersebut ialah murid yang
secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu, tilmidz
yang berarti murid, thalib al-ilm yakni orang yang menuntu ilmu,
pelajar, atau mahasiswa. Dengan kata lain murid adalah salah satu komponen
dalam pengajaran, karena pada dasarnya murid adalah unsur penentu dalam proses
belajar mengajar, tanpa adanya murid sesungguhnya tidak akan terjadi proses
pengajaran, sebab muridlah orang yang belajar untuk menemukan ilmu. Karena
dalam Islam diyakini ilmu hanya berasal dari Allah, maka seorang peserta didik
mesti berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dengan senantiasa
mensucikan dirinya dan taat kepada perintah-Nya. Namun untuk memperoleh ilmu
yang berasal dari Allah tersebut, seorang peserta didik mesti belajar pada
orang yang telah diberi ilmu, yaitu guru atau pendidik. Karena peserta didik
memiliki hubungan dengan ilmu dalam rangka upaya untuk memiliki ilmu, maka
seorang peserta didik mesti berakhlak kepada gurunya. Akhlak tersebut tentunya
tetap mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis.
Dalam
perspektif Undang-Undang sistem pendidikan nasional no.20 tahun 2003 pasal 1
ayat 4, “Peserta didik diartikan sebagai anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis
pendidikan tertentu”. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
peserta didik itu memiliki sejumlah karakteristik.[1] antara
lain:
1.
Peserta didik adalah individu yang sedang
berkembang. Artinya peserta didik tengah mengalami perubahan-perubahan dalam
dirinya secara wajar, baik yang ditujukan kepada diri sendiri maupun yang
diarahinya pada penyesuaian dengan lingkungannya.
2.
Peserta didik adalah individu yang membutuhkan
bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
3.
Peserta didik adalah individu yang memiliki
kemampuan untuk mandiri.
Peserta didik
merupakan “raw material” (bahan mentah) dalam proses transformasi dalam
pendidikan.ada dua hal yang penting yang harus diperhatikan oleh pendidik
yaitu: kewajiban peserta didik, kebutuhan peserta didik, sifat-sifat
peserta didik dan hakikat peserta didik.
B. Konsep Tentang Fitrah
Manusia diciptakan Allah dalam struktur yang
paling baik diantara makhluk Allah yang lain. Struktur manusia terdiri dari
unsur jasmaniah dan rohaniah, yang didalamnya Allah memberikan seperangkat
kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan untuk berkembang. Dalam pandangan
Islam kemampuan dasar / pembawaan itu disebut dengan “fitrah” yang dalam
pengertian etimologis mengandung arti “kejadian”, oleh karena kata fitrah itu
berasal dari kata kerja fatoro yang berarti menjadikan.
Kata fitrah disebutkan dalam Al-Qur’an surat
Ar-Rum ayat 30, sebagai berikut:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9
$ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$#
tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ
4 w @Ïö7s?
È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs
ÚúïÏe$!$#
ÞOÍhs)ø9$#
ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt
ÇÌÉÈ
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama
dengan selurus-lurusnya, (sesuai dengan kecenderungan aslinya), itulah fitrah
Allah, yang Allah menciptakan manusia diatas fitrah itu. Itulah agama yang
lurus, namun kebanyakan orang tidak mengetahuinya.”
Fitrah yang disebutkan dalam ayat tersebut
mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi pada paham nativisme, yaitu
suatu paham yang menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya
ditentukan oleh potensi dasarnya. Proses kependidikan dilakukan sebagai upaya
untuk mempengaruhi anak didik, bukan untuk merubahnya.
Menurut Dr. Moh. Fadhil Al-Djamaly, dengan
kemampuan yang ada dalam diri anak didik yang bersumber dari fitrah itulah,
maka pendidikan secara operasional adalah bersifat hidayah (menunjukkan).[2]
v Komponen-komponen Fitrah
a.
Fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang
terbawa sejak lahir yang berpusat pada potensi dasar untuk berkembang.
b.
Potensi Dasar itu berkembang secara menyeluruh (integral)
yang menggerakkan seluruh aspek-aspeknya yang secara mekanistis satu sama lain
saling mempengaruhi menuju ke arah tujuan tertentu.
c.
Aspek-aspek fitrah adalah merupakan komponen dasar yang
bersifat dinamis, responsive terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk
lingkungan pendidikan.
v Komponen-komponen dasar itu
meliputi:
a.
Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial
mengacu pada perkembangan kemampuan akademis dan keahlian (professional) dalam
berbagai bidang kehidupan. Bakat ini berpangkal pada kemampuan Kognisi (daya
cipta), Konasi (kehendak), dan Emosi.
b.
Insting, adalah suatu kemampuan berbuat atau
bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar. Kemampuan ini merupakan
pembawaan sejak lahir. Jenis-jenis tingkah laku manusia yang digolongkan
insting adalah:
1)
Melarikan diri karena rasa takut
2)
Menolak karena jijik
3)
Ingin tahu karena menakjubi sesuatu
4)
Melawan karena kemarahan
5)
Merendahkan diri karena perasaan mengabdi
6)
Menonjolkan diri karena adanya harga diri
7)
Menarik perhatian orang lain karena ingin diperhatikan orang
lain.
c.
Nafsu dan dorongan-dorongannya. Dalam Tasawuf
dikenal adanya nafsu Lawwamah, yang mendorong ke arah perbuatan mencela dan
merendahkan orang lain (egosentros). Nafsu ammarah (polemos) yang mendorong ke
arah perbuatan merusak, membunuh, atau memusuhi orang lain (destruktif). Nafsu
birahi (eros) yang mendorong ke arah perbuatan seksual. Nafsu mutmainnah
(religious) yang mendorong ke arah ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
d.
Karakter atau watak tabiat manusia adalah
kemampuan psikologis yang terbawa sejak kelahirannya. Karakter ini berkaitan
dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang.
e.
Hereditas atau keturunan merupakan faktor
kemampuan dasar yang mengandung ciri-ciri fisiologis yang diturunkan/diwariskan
oleh orang tua.
f.
Intuisi adalah kemampuan psikologis
manusia untuk menerima ilham Tuhan. Intuisi menggerakkan hati nurani manusia
yang membimbingnya ke arah perbuatan dalam situasi khusus di luar kesadaran
akal pikirannya.[3]
C. Peranan Peserta Didik
Untuk mencapai
keberhasilan pendidikan diperlukan kerjasama antara pendidik dan peserta didik.
Apabila tidak ada kesediaan dan kesiapan dari peserta didik sendiri untuk
mencapai tujuan, maka pendidikan sulit dibayangkan dapat berhasil.
Al-Ghazali
mengemukakan tugas-tugas peserta didik sebagai berikut:
1.
Menyucikan diri dari akhlak dan sifat tercela.
2.
Mengurangi berbagai kesibukan duniawi, atau
berkonsentrasi pada belajar.
3.
Murid pemula hendaknya menghindari
pandangan-pandangan controversial.
4.
Tidak meninggalkan satu pun diantara ilmu-ilmu
terpuji.
5.
Belajar hendaknya bertujuan: di dunia untuk
menghiasi batin dengan keutamaan dan di akhirat untuk mendekatkan diri kepada
Allah swt.[4]
Al-Kanani
mengemukakan hal-hal yang hendaknya diperhatikan oleh peserta didik, sebagai
berikut:
1.
Yang berhubungan dengan diri peserta didik: menyucikan
hati dari sifat tercela, niat ikhlas dalam menuntut ilmu, belajar ketika masih
muda, lapang dada terhadap apa yang telah dicapai, mengatur waktu
belajar,dan tidak banyak tidur.
2.
Yang berhubungan dengan guru: memilih guru,
patuh pada guru, menghormati hak guru, bersabar terhadap guru yang keras,
banyak berterima kasih pada guru, menjaga sopan santun pada guru, dan
memelihara tata karma dalam belajar.
3.
Yang berkenaan dengan pelajaran: memulai
belajar dengan membaca Al-Qur’an, memperhatikan kebenaran, naskah sebelim
dihafal, membuat catatan-catatan, rajin menghadiri kelas, memelihara etika
dalam kelas, tidak malu bertanya, dan memperhatikan kebenaran pelajaran.
Al-Abrasyi
mengemukakan kewajiban-kewajiban yang hendaknya senantiasa diperhatikan setiap
peserta didik sebagai berikut:[5]
1.
Sebelum mulai belajar, peserta didik hendaknya
terlebih dahuku membersihkan hatinya.
2.
Dengan belajar, peserta didik hendaknya
bertujuan mengisi jiwanya dengan fadhillah dan mendekatkan diri kepada Allah,
bukan bertujuan untuk menonjolkan diri, berbangga, dan meraih penghargaan.
3.
Siap menuntut ilmu, sehingga sanggup bepergian
ke tempat-tempat yang jauh.
4.
Hendaknya menghormati dan memuliakan guru
karena Allah, serta berdaya upaya untuk menyenangkan hati guru dengan cara yang
baik.
5.
Bersungguh-sungguh dalam belajar, dan
memanfaatkan waktu siang dan malam untuk memperoleh pengetahuan.
6.
Hendaknya lebih dahulu memberi salam kepada
gurunya.
7.
Hendaknya memilih waktu senja dan menjelang
subuh untuk mengulangi pelajaran. Waktu antara isya’ dan makan sahur itu adalah
waktu yang penih berkah.
8.
Bertekad untuk belajar hingga akhir ayat.[6]
D. Pendidikan Seumur Hidup
Pendidikan
merupakan suatu proses pembentukan kepribadian manusia. Sebagai suatu proses,
pendidikan tidak hanya berlangsung pada suatu saat saja. Akan tetapi harus
berlangsung secara berkelanjutan. Dari sinilah muncul istilah pendidikan seumur
hidup (life long education) atau pendidikan terus menerus (continuing
education).
Islam juga
telah menggariskan pendidikan seumur hidup. Dalam perspektif Islam, pendidikan
seumur hidup didasarkan pada fase-fase perkembangan manusia itu sendiri.
Artinya, proses pendidikan itu disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama
perkembangan yang dialami oleh seseorang sampai akhir hayatnya, yakni:
1.
Masa al-Jauin (usia dalam kandungan).
Masa al-jauin,
tingkat anak yang berada dalam kandungan dan adanya kehidupan setelah adanya
ruh dari Allah swt. Pada usia 4 bulan, pendidikan dapat diterapkan dengan
istilah “pranatal” atau juga dapat dilakukan sebelum ada itu menjadi janin yang
disebut dengan pendidikan “prakonsepsi”. Karena itu, seorang ibu ketika
mengandung anaknya, hendaklah mempersiapkan kondisi fisik maupun psikisnya,
sebab sangat berpengaruh terhadap proses kelahiran dan perkembangan anak kelak.
Pada masa itu hubungan janin sangat erat dengan ibunya, untuk itu sang ibu
berkewajiban memelihara kandungannya, antara lain:
a.
Makan makanan yang bergizi.
b.
Menghindari benturan.
c.
Menjaga emosi dan perasaan sedih.
d.
Menjauhi minuman keras.
e.
Menjaga rahim agar jangan terkena penyakit.
Proses
pendidikan itu dilaksanakan dengan secara tidak langsung, seperti berikut:
a.
Ibu yang hamil harus mendo’akan anaknya.
b.
Ibu harus selalu menjaga dirinya dengan
makanan dan minuman yang halal.
c.
Ikhlas mendidik anak.
d.
Suami harus memenuhi kebutuhan istri.
e.
Mendekatkan diri kepada Allah.
f.
Kedua orang tua harus berakhlak mulia.
2.
Masa bayi (usia 0-2 tahun)
Pada tahap ini,
orang belum memiliki kesadaran dan daya intelektual, ia hanya mampu menerima
rangsangan yang bersifat biologis dan psikologis melalui air susu ibunya.
Karenanya, dalam fase ini belum dapat diterapkan interaksi edukatif secara
langsung.
Proses edukasi
dapat dilakukan menurut Islam adalah membacakan adzan di telinga kanan dan
iqamah di telinga kiri ketika baru lahir, memberi nama yang baik ketika
diaqiqah. Dengan demikian, di hari pertama dan minggu pertama kelahirannya,
sudah diperkenalkan kalimat tauhid, selanjutnya diberi nama yang baik sesuai
tuntunan agama.
3.
Masa kanak-kanak (usia 2-12 tahun)
Pada fase ini,
seseorang mulai memiliki potensi-potensi biologis, paedagogis. Oleh karena itu,
mulai diperlukan pembinaan, pelatihan, bimbingan, pengajaran dan pendidikan
yang sesuai dengan bakat dan minat atau fitrahnya. Ketika telah mencapai usia
enam tahun hendaklah dipisahkan tempat tidurnya dan diperintahkan untuk shalat
ketika berumur tujuh tahun. Proses pembinaan dan pelatihan lebih efektif lagi
bila dalam usia tujuh tahun disekolahkan pada Sekolah Dasar. Hal tersebut
karena pada fase ini, seseorang mulai aktif dan mampu memfungsikan potensi-potensi
indranya walaupun masih pada taraf pemula.
4.
Masa puber (usia 12-20 tahun)
Pada tahap ini,
seseorang mengalami perubahan biologis yang drastis, postur tubuh hampir
menyamai orang dewasa walaupun taraf kematangan jiwanya belum mengimbanginya. Pada
tahap ini, seseorang mengalami masa transisi, masa yang menuntut seseorang
untuk hidup dalam kebimbangan, antara norma masyarakat yang telah melembaga
agaknya tidak cocok dengan pergaulan hidupnya sehari-hari, sehingga ia ingin
melepaskan diri dari belenggu norma dan susila masyarakat untuk mencari jati
dirinya, ia ingin hidup sebagai orang dewasa, diakui, dan dihargai, tetapi
aktivitas yang dilakukan masih bersifat kekanak-kanakan. Seringkali orang tua
masih membatasi kehidupannya agar nantinya dapat mewarisi dan mengembangkan
usaha yang dicapai orang tuanya. Proses edukasi fase puber ini, hendaknya
dididik mental dan jasmaninya misalnya mendidik dalam bidang olahraga dan
memberikan suatu model, mode dan modus yang Islami, sehingga ia mampu melewati
masa remaja di tengah-tengah masyarakat tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam.
5.
Masa kematangan (usia 20-30)
Pada tahap ini,
seseorang telah beranjak dalam proses kedewasaan, mereka sudah mempunyai
kematangan dalam bertindak, bersikap, dan mengambil keputusan untuk menentukan
masa depannya sendiri. Proses edukasi yang dapat dilakukan adalah memberi
pertimbangan dalam menentukan masa depannya agar tidak melakukan
langkah-langkah yang keliru.
6.
Masa kedewasaan (usia 30- …sampai akhir hayat)
Pada tahap ini,
seseorang telah berasimilasi dalam dunia kedewasaan dan telah menemukan jati
dirinya, sehingga tindakannya penuh dengan kebijaksanaan yang mampu memberi
naungan dan perlindungan bagi orang lain. Proses edukasi dapat dilakukan dengan
cara mengingatkan agar mereka lebih memperbanyak amal shalih, serta
mengingatkan bahwa harta yang dimiliki agar dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan agama, negara dan masyarakat.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam bahasa
arab peserta didik dikenal dengan tiga istilah yang sering digunakan untuk
menunjukkan pada anak didik kita. Tiga istilah tersebut ialah murid yang secara
harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu, tilmidz yang
berarti murid, thalib al-ilm yakni orang yang menuntu ilmu, pelajar, atau mahasiswa.
Dengan kata lain murid adalah salah satu komponen dalam pengajaran, karena pada
dasarnya murid adalah unsur penentu dalam proses belajar mengajar, tanpa adanya
murid sesungguhnya tidak akan terjadi proses pengajaran, sebab muridlah orang
yang belajar untuk menemukan ilmu.
Struktur
manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah, yang didalamnya Allah
memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan untuk
berkembang. Dalam pandangan Islam kemampuan dasar / pembawaan itu disebut
dengan “fitrah” yang dalam pengertian etimologis mengandung arti “kejadian”,
oleh karena kata fitrah itu berasal dari kata kerja fatoro yang
berarti menjadikan.
Untuk mencapai
keberhasilan pendidikan diperlukan kerjasama antara pendidik dan peserta didik.
Apabila tidak ada kesediaan dan kesiapan dari peserta didik sendiri untuk
mencapai tujuan, maka pendidikan sulit dibayangkan dapat berhasil. Hal ini
dikarenakan, peserta didik memegang peranan sebagai obyek sekaligus subyek
pendidikan. Sebagai obyek, peserta didik menjadi sasaran dari pendidikan.
Sebagai obyek, peserta didik diajak untuk ikut memecahkan berbagai masalah
dalam proses belajar mengajar.
Sebagai suatu
proses, pendidikan tidak hanya berlangsung pada suatu saat saja. Akan tetapi
harus berlangsung secara berkelanjutan. Dari sinilah muncul istilah pendidikan
seumur hidup (life long education) atau pendidikan terus menerus (continuing
education). Islam juga telah menggariskan pendidikan seumur hidup. Dalam
perspektif Islam, pendidikan seumur hidup didasarkan pada fase-fase
perkembangan manusia itu sendiri. Artinya, proses pendidikan itu disesuaikan
dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan yang dialami oleh seseorang
sampai akhir hayatnya.
B. Saran
Sekilas uraian tentang Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam,
tentunya Penulis banyak
melakukan kesalahan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan
saran dari pembaca sangat kami perlukan demi pembuatan makalah yang lebih baik. Semoga makalah ini bisa bermanfaat dan
dapat dijadikan sebagai penambah wacana bagi para pembaca, Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan
Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 1999.
Prof. Dr. Moh. Fadhil Al-Djamaly, Nahwa
Tarbiyatin Mukminatin, Al-Syirkah Al-Tunisiyah littauzi, 1977.
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:
Bumi Aksara, 1993.
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum
al-Din, Semarang: Toha Putra, tt.
Muhammad Athiyah
al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Falasifatuha, ttt.: Dar
al-Fikr, tt.
Hery Noer Aly, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
http://www.tuanguru.net/2011/12/pendidikan-seumur-hidup-dalam-pandangan.html/13April2012.