Kamis, 14 November 2013

Murji'ah dan Pemikiran Kalamnya

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Menilik perjalanan sejarah akan kita dapati bahwa tak satupun agama yang lahir dimuka bumi ini tanpa mengalami perpecahan yang diawali oleh perbedaan pendapat para pengikutnya setelah kewafatan tokoh sentral agama tersebut (nabi). Perbedaan adalah bakat alami yang ada pada manusia, oleh karena itu sangat mustahil rasanya antara satu orang dengan yang lainnya selalu serasi. Kenyataan diatas juga bisa kita lihat dari makhluq-makhluq Allah! tidakkah kita diciptakan berbeda-beda? dari suku bangsa sampai jenis kulit, dari bahasa sampai watak atau tabiat masing-masing suku.
Bahkan watak serta pola pikir setiap manusia belum tentu serasi meskipun mereka hidup dalam kondisi sosial yang sama. Kenyataan-kenyataan diatas sangat pantas dijadikan alasan adanya perbedaan yang nantinya menimbulkan perpecahan yang membagi agama kepada beberapa kelompok. Ditambah lagi kepentingan-kepentingan individu maupun golongan yang ingin selalu benar dan berada diatas. Manusia tidak hanya diberi akal sebagai pembeda yang benar dan yang salah, tapi juga diberi hawa nafsu yang selalu menggoda akal untuk mencari jalan guna memenuhi kebutuhan nafsu itu.
Perpecahan terjadi dalam tubuh umat islam semenjak kewafatan nabi Muhammad.S.A.W. Qadhiyah imamiyah (masalah kepemimpinan) adalah faktor utama perselisihan itu, dimana para sahabat berbeda pandangan tentang sosok yang paling berhak menjadi imam atau khalifah pengganti rasul. Sebagian berpendapat bahwa bangsa quraisy paling berhak, sahabat anshor melihat mereka juga berhak menggantikan rasul menjadi khalifah. Lambat laun seiring perkembangan zaman dan pergantian generasi, perbedaan yang sebatas qadhiyah imamiyah (masalah kepemimpinan) itu berkembang menjadi perselisihan yang menyangkut masalah aqidah yang sangat urgen bagi umat islam.
Tak jarang satu golongan mengkafirkan golongan lainnya kerena secuil perbedaan, masing-masing beranggapan kebenaran hanya dipihak mereka. Sebagai orang islam yang beriman sudah seharusnya kita menjaga sikap, menata omongan dan membersihkan hati dari kedengkian agar setiap gerak-gerik yang keluar dari pribadi kita tidak menjadi duri bagi manusia lain umumnya dan sesama muslim khususnya, apalagi sampai menyesatkan orang lain, padahal belum kita teliti secara mendalam, hanya ikut-ikutan. Sabda nabi:“orang islam adalah orang yang tangan dan lisannya tidak menjadi petaka bagi saudaranya sesama islam”.(H.R.Imam Muslim.)
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian Aliran Murji’ah?
2.      Bagaimana sejarah Murji’ah?
3.      Apa saja ajaran-ajaran pokok Muji’ah?
C.    TUJUAN MASALAH
1.      Untuk mengetahui arti aliran Murji’ah yang sebenarnya
2.      Untuk mengetahui sejarah Murji’ah
3.      Untuk mengetahui ajaran pokok Murji.ah











BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Aliran Murji’ah
Kata murji’ah berasal dari suku kata bahasa arab “Raja’a” yang berarti “Kembali” dan yang dimaksud adalah golongan atau aliran yang berpendapat bahwa konsekuensi hukum dari perbuatan manusia bergantung pada Allah SWT.
Aliran Murji'ah adalah aliran islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan khawarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khowarij. Pengertian murji'ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.
B.            Asal Usul Murji’ah
[1]Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculaan syi’ah dan khawarij. Pada mulanya kaum Murji’ah merupakan golongan yang  tidak  mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu dan menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak  kafirnya orang-orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.[2]
Lebih lanjut kelompok ini menganggap bahwasanya pembunuhan dan pertumpahan darah yang terjadi di kalangan kaum muslimin sebagai suatu kejahatan yang besar. Namun mereka menolak menimpakan kesalahan kepada salah satu di antara kedua kelompok yang saling berperang.[3]
Pada mulanya kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khalifah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah Usman bin Affan mati terbunuh. Munculnya permasalahan ini perlahan-lahan menjadi permasalahan tentang ketuhanan. Oleh karena itu, akan membahas tentang Murji’ah dan perkembangan pemikirannya dalam mewarnai pemahaman ketuhanan dalam Agama Islam.

I.               Awal Kemunculan Kelompok Murjia’h
Asal usul kemunculan kelompok Murji’ah dapat dibagi menjadi 2 sebab yaitu:
1.             Permasalahan Politik
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi 2 kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra akhirnya keluar dari Ali yakni Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dengan pengertian, tidak ber-tahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar yang lain.[4]
Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali binAbi Thalib bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan lain dalam islam yang dikenal dengan nama Syi’ah.[5]
Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yangingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yangterjadi antara golongan yang bertentangan ini. Bagi mereka sahabat-sahabat yangbertentangan ini merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluardari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat siapasebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang berarti penyelesaianpersoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan.[6]
Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik.
2.             Permasalahan Ke-Tuhanan
Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada permasalahan ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.[7]
Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar oleh kaum Khawarij ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Mur’jiah yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak .[8]
Aliran Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih di anggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir[9]. Pandangan golongan ini dapat dilihat terlihat dari kata Murji’ah itu sendiri yang berasal dari kata arja’a yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberikan pengaharapan. Menangguhkan berarti bahwa mereka menunda soal siksaan seseorang di tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan ia akan langsung masuk surga, sedangkan jika tidak, maka ia akan disiksa sesuai dengan dosanya, setelah ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dan mengakhirkan dimaksudkan karena mereka memandang bahan perbuatan atau amal sebagai hal yang nomor dua bukan yang pertama. Selanjutnya kata menangguhkan, dimaksudkan karena mereka menangguhkan keputusan hukum bagi orang-orang yang melakukan dosa di hadapan Tuhan.[10]
Disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah yang diberikan pada golongan ini, bukan karena mereka menundakan penentuan hukum terhadap orang islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kedua dari iman, tetapi karena mereka memberi pengaharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga.[11]
  II.          Pembagian Kelompok Murji’ah
Pada umumnya kaum Murji’ah digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu Golongan Moderat dan Golongan Ekstrim.
1. Golongan Murji’ah Moderat
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.[12]
Golongan Murji’ah yang moderat ini termasuk Al-Hasan Ibn Muhammad Ibn ’Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadits. Menurut golongan ini, bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberikan definisi iman sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan, Rasul-rasul-Nya dan tentang segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang, tidak ada perbedaan manusia dalam hal iman[13]. Dengan gambaran serupa itu, maka iman semua orang islam dianggap sama, tidak ada perbedaan antara iman orang islam yang berdosa besar dan imanorang islam yang patuh menjalankan perintah-perintah Allah. Jalan pikiran yang dikemukakan oleh Abu Hanifah itu dapat membawa kesimpulan bahwa perbuatan kurang penting tidak dapat diterima.[14]
2.Golongan Murji’ah Ekstrim
Golongan ini dipimpin Al-Jahamiyah (pengikut jaham ibn Safwan) pahamnya berpendapat, bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah kafir. Dengan alasan, iman dan kafir bertempat dihati lebih lanjut umpamanya ia menyembah salib, percaya pada trinitas dan kemudian meninggal, orang ini tetap mukmin, tidak menjadi kafir. Dan orang tersebut tetap memiliki iman yang sempurna.
Pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan kafir adalah tidak tahu pada Tuhan. Masalah sembahyang tidak merupakan ibadah kepada Allah. Ibadah adalah iman kepadanya, artinya mengetahui Tuhan.
Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap kelompok ini dapat dijelaskan sebagi berikut:
a.              Kelompok Al-Jahmiyah
Adapun golongan Murji’ah ekstrim adalah Jahm bin Safwan danpengikutnya disebut al-Jahmiah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islamyang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa orang yang telah menyatakan iman, meskipun menyembah berhala, melaksanakan ajaran-ajaran agama Yahudi dengan menyembah berhala atau Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah[15]. Dan orang yang demikian bagi Allah merupakan mukmin yang sempurna imannya[16].
b.             Kelompok Ash-Shalihiyah
Bagi kelompok pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi iman adalah megetahui Tuhan dan Kufr adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka sembahyang tidaklah ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadat adalah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan[17]. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.[18]
c.              Kelompok Al-Yunusiyah dan Kelompok Al-Ubaidiyah
Melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik ( politheist ).[19]
Kaum Yunusiyah yaitu pengikut- pengikut Yunus ibnu ’Aun an Numairi berpendapat bahwa ”iman” itu adalah mengenai Allah, dan menundukkan diri padanya dan mencintainya sepenuh hati. Apabila sifat-sifat tersebut sudah terkumpul pada diri seseorang, maka dia adalah mukmin. Adapun sifat-sifat lainnya, seperti ”taat” misalnya, bukanlah termasuk iman, dan orang yang meninggalkan bukanlah iman, dan orang yang meninggalkan ketaatan tidak akan disiksa karenanya, asalkan saja imannya itu benar-benar murni dan keyakinan yaitu betul- betul benar.[20]
d.             Kelompok Al-Hasaniyah
Kelompok ini mengatakan bahwa, ”saya tahu tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang yang demikian juga tetap mukmin.[21]
Pendapat Al-Baghdadi
Beliau berpendapat bahwa iman ada dua macam yaitu :
  1. Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu mengakui Tuhan, kitab, rasul, qadar, sifat Tuhan, dan segala keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
  2. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasik dari seorang serta melepaskanya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.
C.    Ajaran-Ajaran Pokok
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja’ atau arja’ yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun persoalan teologis. Dibidang politik, doktrin irja’ diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok  Murji’ah di kenal pula dengan The Queitists (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.[22]
Secara umum kelompok Murji’ah menyusun teori-teori keagamaan yang independen,  sebagai dasar gerakannya, yang intisarinya sebagai berikut:[23]
Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan Rasulnya saja. Adapun amal atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap sebagai mukmin walaupun ia meninggalkan apa yang di fardhukan kepadanya dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar. Dasar keselamatan adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman dihati, maka setiap maksiat tidak akan mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas diri seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid. Dengan kata lain, kelompok murji’ah memandang bahwa perbuatan atauamal tidaklah sepenting iman, yang kemudian menngkat pada pengertian bahwa,hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman yang ada dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak merusak iman seseorang.[24]
Berkaitan dengan Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:[25]
1. Penangguhan keputusan Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya diakhirat.
2. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat  Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
3.Pemberian harapan (giving hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4.Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Harun Nasution menyebutkan ada empat ajaran pokok dalam doktrin teologi Murji’ah yaitu:[26]
1.Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr bn Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah dihari kiamat kelak.
2.Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosabesar.
3.menyerahkan meletakkan iman dari pada amal.
4.Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sedangkan doktrin pemikiran Murji’ah yang lain, seperti batasan kufur, para pengikut Murji’ah terpecah menjadi beberapa golongan. Secara garis besar pemikiran dapat dijelaskan menurut kelompok  Jahamiyah: bahwa kufur merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati ataupun, dimana hati tidak mengenal ( jahl) terhadap Allah SWT.[27]
Pada golongan yang lainnya, menyatakan bahwa kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, misalnya tidak mengenal ( jahl) terhadap Allah SWT, membenci dan sombong kepadanya, mendustakan Allah dan rasul-Nya sepenuh hati dan secara lisan, begitu pula membangkang terhadap-Nya, mengingkari-Nya, melawan-Nya, menyepelekan Allah dan dan Rasulnya, tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati maupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun dengan iman30.
Mereka beranggapan bahwa seseorang yang membunuh ataupun menyakiti Nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Tetapi, kalau seseorang mengahalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya diapun disebut kufur.
D.    Ciri-Ciri Aliran Murji’ah
Diantaranya adalah :
  1. Rukun iman ada dua yaitu : iman kepada Allah dan Iman kepada utusan Allah.
  2. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila meninggal dunia dalam keadaan berdosa tersebut ketentuan tergantung Allah di akhirat kelak.
  3. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap seseorang bila telah beriman. Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dosa ya dosa, iman ya iman.
  4. Perbuatan kebajikan tidak berarti apapun bila dilakukan disaat kafir. Artinya perbuatan tersebut tidak dapat menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga bermanfaat, karena melakukannya sebelum masuk Islam.
Golongan murji’ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam, sekalipun orang tersebut dzalim, berbuat maksiat dll, sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa perbuatan dosa sebesar apapun tidak mempengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih muslim, kecuali bila orang tesebut telah keluar dari Islam (Murtad) maka telah berhukum kafir. Aliran Murji’ah juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau menampakkan kekufuran, namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir atau tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya, namun bergantung pada batinnya. Sebab ketentuan ada pada I’tiqad seseorang dan bukan segi lahiriyahnya.
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Kaum Murji’ah muncul adanya pertentangan politik dalam Islam. Dalam suasana demikian, kaum Murji’ah muncul dengan gaya dan corak tersendiri. Mereka bersikap netral, tidak berkomentar dalam praktek kafir atau tidak bagi golongan yang bertentangan. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang–orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena halnya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap mukmin dihadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kali masyahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Alasan Murji’ah menganggapnya tetap mukmin, sebab orang Islam yang berbuat dosa besar tetap mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad adalah rasulnya.
DASAR PEMIKIRAN ALIRAN MURJI”AH DAN KELOMPOKNYA
Persoalan teologi dimulai pada masa pemerintahan Usman dan Ali, yaitu disaat terjadinya pergolakan-pergolakan politik dikalangan umat Islam. Perjuangan politik untuk merebut kekuasaan selalu dibingkai dengan ajaran agama, sebagai payung pelindung. Baik bagi kelompok yang menang demi untuk mempertahankan kekuasaannya, maupun kelompok yang kalah untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Dari sini dapat dikatakan mazhab-mazhab fikih dan aliran-lairan teologi dalam Islam lahir dari konflik politik yang terjadi dikalangan umat Islam sendiri, untuk kepentingan dan mendukung politik masing-masing kelompok, ulama dari kedua kelompok pun memproduksi hadits-hadits palsu dan menyampaikan fatwa-fatwa keberpihakan.
Adanya keterpihakan kelompok pada pertentangan tentang Ali bin Abi Thalib, memunculkan kelompok lainnya yang menentang dan beroposisi terhadapnya. Begitu pula terdapat orang-orang yang netral, baik karena mereka mengganggap perang saudara ini sebagai seuatu fitnah (bencana) lalu mereka berdiam diri, atau mereka bimbang untuk menetapkan haq dan kebenaran pada kelompok yang ini atau itu.[28]


BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan

Kemunculan aliran Murji’ah dalam sejarah perkembangan ilmu teologi dalam islam, tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik pada masa itu, yang dimulai dari pertentangan Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Aliran Murji’ah merupakan aliran yang berusaha bersikap netral atau nonblok dalam proses pertentangan yang terjadi antara kaum Khawarij dengan kaum Syi’ah yang telah masuk pada permasalahan kafir mengkafirkan. Dan dalam perkembangannya Murji’ah ikut memberikan tanggapan dalam permasalahan ketentuan Tuhan dalam menetapkan seseorang telah keluar Islam atau masih mukmin. Tipe pemikiran yang dikembangkan oleh kaum Murji’ah adalah bahwa penentuan seseorang telah keluar dari Islam tidak bisa ditentukan oleh manusia tapi di tangguhkan sampai nanti di akhirat. Pembagian golongan Murji’ah dapat dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu, golongan Murji’ah moderat dan golongan Murji’ah ekstrim.

B.            Saran

Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat dan juga mampu memotivasi diri kita agar mampu mengamalkan apa yang telah disampaikan oleh Rasul melalui perantara-perantara yang telah ditunjuk oleh Allah SWT.
Kami sadar bahwa makalah ini masih sangat jauh dari harapan, namun dengan adanya sedikit penjelasan dari makalah ini, kami berharap agar teman-teman semakin ingin tahu dan semakin memperbanyak pengetahuan dengan mencari sumber-sumber lain, serta dapat memanfaatkan perpustakaan dengan sebaik-baiknya. Semoga dengan makalah ini kita dapat mempertebal keimanan kita. Amin.







DAFTAR PUSTAKA

v  Al-Asy’ari, Abul Hasan Isma’il. 1998. Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
v  Al-Maududi, Abul A’la. 2007. Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Penerbit: Kharisma.
v  Muhammad Al-baqir.Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran- Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press.
v  Syalabi, A. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II . Jakarta: PT Pustaka Al-Husa baru.
v  Nata, Abuddin. 1995.Ilmu Kalam, Filsafat dan Tassawuf . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihan. 2007. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka.


[1] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia, Bandung, 2007. Hal.56.
[2] Harun  Nasution. Teologi Islam: Aliran - Aliran Sejarah  Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta, 1986. Hal.22.
[3] Abul A’la Al-Maududi. Khilafah dan Kerajaan, Penerbit  Kharisma, Bandung, 2007. Hal.254.
[4] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. Op. Cit . 2007. Hal: 57
[5] Harun Nasution. Op. Cit . 1986. Hal: 2
[6] Ibid
[7] Harun Nasution. Op. Cit . 1986. Hal: 23
[8] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. Op. Cit . 2007. Hal: 5.
[9] Abuddin Nata. Ilmu Kalam, Filsafat dan Tassawuf , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1995.Hal: 33.
[10] Ibid.., Hal: 34.
[11] Harun Nasution. Op. Cit . 1986. Hal: 24.
[12] Ibid.., Hal: 25.
[13] Abuddin Nata. Op. Cit. 1995. Hal: 34.
[14] Ibid
[15] Ibid.., Hal.35.
[16] Harun Nasution. Op. Cit . 1986. Hal: 26.
[17] Ibid., Hal.27.
[18] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. Op. Cit . 2007. Hal: 61.
[19] Ibid,. Hal.61.
[20] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II , PT Pustaka Al-Husa baru, Jakarta. 2003.Hal: 29.
[21] Harun Nasution. Op. Cit . 1986. Hal: 27
[22] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. Op. Cit . 2007. Hal: 58
[23] Abul A’la Al-Maududi. Op. cit . 2007. Hal: 254
[24] Harun Nasution. Op. Cit .  1986. Hal: 23
[25] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. Op. Cit . 2007. Hal: 58
[26] Ibid., Hlm.59.
[27] Abul Hasan Isma’il Al-Asy’ari, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, CV Pustaka.Setia, Bandung, 1998. Hal: 205
[28] Abul A’la Al-Maududi. Khilafah dan Kerajaan, Penerbit  Kharisma, Bandung, 2007. Hal: 253

About

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto Saya
Saya hanyalah orang biasa yang belum banyak memiliki pengalaman. Saya Tidak Lebih Baik dari Anda.

Search