BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Menilik
perjalanan sejarah akan kita dapati bahwa tak satupun agama yang lahir dimuka
bumi ini tanpa mengalami perpecahan yang diawali oleh perbedaan pendapat para
pengikutnya setelah kewafatan tokoh sentral agama tersebut (nabi). Perbedaan
adalah bakat alami yang ada pada manusia, oleh karena itu sangat mustahil
rasanya antara satu orang dengan yang lainnya selalu serasi. Kenyataan diatas
juga bisa kita lihat dari makhluq-makhluq Allah! tidakkah kita diciptakan
berbeda-beda? dari suku bangsa sampai jenis kulit, dari bahasa sampai watak
atau tabiat masing-masing suku.
Bahkan
watak serta pola pikir setiap manusia belum tentu serasi meskipun mereka hidup
dalam kondisi sosial yang sama. Kenyataan-kenyataan diatas sangat pantas dijadikan
alasan adanya perbedaan yang nantinya menimbulkan perpecahan yang membagi agama
kepada beberapa kelompok. Ditambah lagi kepentingan-kepentingan individu maupun
golongan yang ingin selalu benar dan berada diatas. Manusia tidak hanya diberi
akal sebagai pembeda yang benar dan yang salah, tapi juga diberi hawa nafsu
yang selalu menggoda akal untuk mencari jalan guna memenuhi kebutuhan nafsu
itu.
Perpecahan
terjadi dalam tubuh umat islam semenjak kewafatan nabi Muhammad.S.A.W. Qadhiyah
imamiyah (masalah kepemimpinan) adalah faktor utama perselisihan itu,
dimana para sahabat berbeda pandangan tentang sosok yang paling berhak menjadi
imam atau khalifah pengganti rasul. Sebagian berpendapat bahwa bangsa quraisy
paling berhak, sahabat anshor melihat mereka juga berhak menggantikan rasul
menjadi khalifah. Lambat laun seiring perkembangan zaman dan pergantian
generasi, perbedaan yang sebatas qadhiyah imamiyah (masalah kepemimpinan) itu
berkembang menjadi perselisihan yang menyangkut masalah aqidah yang sangat urgen
bagi umat islam.
Tak
jarang satu golongan mengkafirkan golongan lainnya kerena secuil perbedaan,
masing-masing beranggapan kebenaran hanya dipihak mereka. Sebagai orang islam
yang beriman sudah seharusnya kita menjaga sikap, menata omongan dan
membersihkan hati dari kedengkian agar setiap gerak-gerik yang keluar dari
pribadi kita tidak menjadi duri bagi manusia lain umumnya dan sesama muslim
khususnya, apalagi sampai menyesatkan orang lain, padahal belum kita teliti
secara mendalam, hanya ikut-ikutan. Sabda nabi:“orang islam adalah orang
yang tangan dan lisannya tidak menjadi petaka bagi saudaranya sesama islam”.(H.R.Imam
Muslim.)
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian Aliran Murji’ah?
2.
Bagaimana sejarah Murji’ah?
3.
Apa saja ajaran-ajaran pokok
Muji’ah?
C.
TUJUAN MASALAH
1.
Untuk mengetahui arti aliran
Murji’ah yang sebenarnya
2.
Untuk mengetahui sejarah Murji’ah
3.
Untuk mengetahui ajaran pokok
Murji.ah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Aliran Murji’ah
Kata murji’ah berasal dari suku kata bahasa arab
“Raja’a” yang berarti “Kembali” dan yang dimaksud adalah golongan atau aliran
yang berpendapat bahwa konsekuensi hukum dari perbuatan manusia bergantung pada
Allah SWT.
Aliran Murji'ah adalah aliran islam yang muncul dari
golongan yang tak sepaham dengan khawarij. Ini tercermin dari ajarannya yang
bertolak belakang dengan Khowarij. Pengertian murji'ah sendiri ialah
penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah
SWT kelak. Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar,
sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah
Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini
tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.
B.
Asal Usul Murji’ah
[1]Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun
teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculaan syi’ah dan khawarij. Pada
mulanya kaum Murji’ah merupakan golongan
yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan
yang terjadi ketika itu dan menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu
kepada Tuhan.[2]
Lebih lanjut kelompok ini menganggap bahwasanya pembunuhan dan pertumpahan
darah yang terjadi di kalangan kaum muslimin sebagai suatu kejahatan yang besar.
Namun mereka menolak menimpakan kesalahan kepada salah satu di antara kedua
kelompok yang saling berperang.[3]
Pada mulanya kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan
khalifah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah Usman bin Affan
mati terbunuh. Munculnya permasalahan ini perlahan-lahan menjadi permasalahan
tentang ketuhanan. Oleh karena itu, akan membahas tentang Murji’ah dan
perkembangan pemikirannya dalam mewarnai pemahaman ketuhanan dalam Agama Islam.
I.
Awal Kemunculan Kelompok Murjia’h
Asal usul
kemunculan kelompok Murji’ah dapat dibagi menjadi 2 sebab yaitu:
1.
Permasalahan Politik
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali
terpecah menjadi 2 kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra akhirnya keluar
dari Ali yakni Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan
Al-Qur’an, dengan pengertian, tidak ber-tahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa
melakukan tahkim adalah dosa besar, dan
pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar yang lain.[4]
Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya adalah
penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena
ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali binAbi Thalib
bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan lain
dalam islam yang dikenal dengan nama Syi’ah.[5]
Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yangingin
bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yangterjadi
antara golongan yang bertentangan ini. Bagi mereka sahabat-sahabat
yangbertentangan ini merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak
keluardari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat
siapasebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang berarti
penyelesaianpersoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan.[6]
Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan
menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik.
2.
Permasalahan Ke-Tuhanan
Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah
pindah kepada permasalahan ketuhanan
(teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak
mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij
menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murji’ah
menjatuhkan hukum mukmin.[7]
Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar oleh
kaum Khawarij ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Mur’jiah
yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara
dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak .[8]
Aliran Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di
hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang.
Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih di anggap mukmin di
hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap
mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya.
Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap
mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh
karena itu, orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir[9]. Pandangan
golongan ini dapat dilihat terlihat dari kata Murji’ah itu sendiri yang berasal dari kata arja’a
yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberikan pengaharapan.
Menangguhkan berarti bahwa mereka menunda soal siksaan seseorang di tangan
Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan ia akan langsung masuk surga, sedangkan
jika tidak, maka ia akan disiksa sesuai
dengan dosanya, setelah ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dan mengakhirkan
dimaksudkan karena mereka memandang bahan perbuatan atau amal sebagai hal yang
nomor dua bukan yang pertama. Selanjutnya kata menangguhkan, dimaksudkan karena
mereka menangguhkan keputusan hukum bagi orang-orang yang melakukan dosa di
hadapan Tuhan.[10]
Disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah yang
diberikan pada golongan ini, bukan karena mereka menundakan penentuan hukum
terhadap orang islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak
dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kedua dari
iman, tetapi karena mereka memberi pengaharapan bagi orang yang berdosa besar
untuk masuk surga.[11]
II.
Pembagian Kelompok Murji’ah
Pada umumnya kaum Murji’ah digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu Golongan Moderat dan Golongan Ekstrim.
1. Golongan Murji’ah Moderat
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir
dan tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan
besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa tuhan akan
mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.[12]
Golongan Murji’ah yang moderat ini termasuk Al-Hasan Ibn Muhammad Ibn ’Ali
bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadits. Menurut
golongan ini, bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam
hubungan ini Abu Hanifah memberikan definisi iman sebagai berikut: iman adalah
pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan, Rasul-rasul-Nya dan tentang segala yang
datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai
sifat bertambah dan berkurang, tidak ada perbedaan manusia dalam hal iman[13]. Dengan
gambaran serupa itu, maka iman semua orang islam dianggap sama, tidak ada
perbedaan antara iman orang islam yang berdosa besar dan imanorang islam yang patuh
menjalankan perintah-perintah Allah. Jalan pikiran yang dikemukakan oleh Abu
Hanifah itu dapat membawa kesimpulan bahwa perbuatan kurang penting tidak dapat diterima.[14]
2.Golongan Murji’ah Ekstrim
Golongan ini dipimpin Al-Jahamiyah (pengikut jaham ibn Safwan) pahamnya
berpendapat, bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan
kekufuran secara lisan tidaklah kafir. Dengan alasan, iman dan kafir bertempat
dihati lebih lanjut umpamanya ia menyembah salib, percaya pada trinitas dan
kemudian meninggal, orang ini tetap mukmin, tidak menjadi kafir. Dan orang
tersebut tetap memiliki iman yang sempurna.
Pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui
Tuhan dan kafir adalah tidak tahu pada Tuhan. Masalah sembahyang tidak
merupakan ibadah kepada Allah. Ibadah adalah iman kepadanya, artinya mengetahui
Tuhan.
Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah,
Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap kelompok ini dapat
dijelaskan sebagi berikut:
a.
Kelompok Al-Jahmiyah
Adapun golongan Murji’ah ekstrim adalah Jahm bin Safwan danpengikutnya
disebut al-Jahmiah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islamyang percaya pada
Tuhan, kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir,
karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi dalam
hati sanubari. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa orang yang telah menyatakan iman, meskipun menyembah berhala,
melaksanakan ajaran-ajaran agama Yahudi dengan menyembah berhala atau
Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian
mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah[15]. Dan
orang yang demikian bagi Allah merupakan
mukmin yang sempurna imannya[16].
b.
Kelompok Ash-Shalihiyah
Bagi kelompok pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi iman adalah megetahui Tuhan
dan Kufr adalah tidak tahu pada Tuhan.
Dalam pengertian bahwa mereka sembahyang tidaklah ibadah kepada Allah,
karena yang disebut ibadat adalah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan[17].
Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah melainkan sekedar menggambarkan
kepatuhan.[18]
c.
Kelompok Al-Yunusiyah dan Kelompok Al-Ubaidiyah
Melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah
merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan
jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal
ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau
sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik ( politheist ).[19]
Kaum Yunusiyah yaitu pengikut- pengikut Yunus ibnu ’Aun an Numairi berpendapat
bahwa ”iman” itu adalah mengenai Allah, dan menundukkan diri padanya dan
mencintainya sepenuh hati. Apabila sifat-sifat tersebut sudah terkumpul pada
diri seseorang, maka dia adalah mukmin. Adapun sifat-sifat lainnya, seperti
”taat” misalnya, bukanlah termasuk iman, dan orang yang meninggalkan bukanlah
iman, dan orang yang meninggalkan ketaatan tidak akan disiksa karenanya,
asalkan saja imannya itu benar-benar murni dan keyakinan yaitu betul- betul
benar.[20]
d.
Kelompok Al-Hasaniyah
Kelompok
ini mengatakan bahwa, ”saya tahu tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak
tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula orang yang
mengatakan ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya
tidak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang yang demikian juga tetap mukmin.[21]
Pendapat
Al-Baghdadi
Beliau berpendapat bahwa iman ada dua macam yaitu :
- Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu mengakui Tuhan, kitab, rasul, qadar, sifat Tuhan, dan segala keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
- Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasik dari seorang serta melepaskanya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.
C.
Ajaran-Ajaran Pokok
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin
irja’ atau arja’ yang diaplikasikan
dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun persoalan teologis.
Dibidang politik, doktrin irja’ diimplementasikan dengan sikap politik netral
atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah
sebabnya, kelompok Murji’ah di kenal pula dengan The Queitists
(kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi jauh sehingga
membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.[22]
Secara umum kelompok Murji’ah menyusun teori-teori keagamaan yang
independen, sebagai dasar gerakannya,
yang intisarinya sebagai berikut:[23]
Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya
kepada Allah dan Rasulnya saja.
Adapun amal atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagi adanya iman.
Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap sebagai mukmin walaupun ia
meninggalkan apa yang di fardhukan kepadanya dan melakukan
perbuatan-perbuatan dosa besar. Dasar
keselamatan adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman dihati, maka
setiap maksiat tidak akan mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas diri
seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan,
manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri syirik dan mati dalam
keadaan akidah tauhid. Dengan kata lain, kelompok murji’ah memandang bahwa
perbuatan atauamal tidaklah sepenting iman, yang kemudian menngkat pada
pengertian bahwa,hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau
tidak mukminnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh
dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia
lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam
hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak
mesti mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman
yang ada dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak
merusak iman seseorang.[24]
Berkaitan dengan Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:[25]
1. Penangguhan keputusan Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya
diakhirat.
2. Penangguhan Ali
untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah
Ar-Rasyidin.
3.Pemberian harapan (giving
hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.
4.Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Harun Nasution menyebutkan ada empat ajaran pokok dalam doktrin teologi
Murji’ah yaitu:[26]
1.Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr bn Ash, dan Abu
Musa Al-Asy’ ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah dihari kiamat kelak.
2.Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosabesar.
3.menyerahkan meletakkan iman dari pada amal.
4.Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sedangkan doktrin pemikiran Murji’ah yang lain, seperti batasan kufur, para
pengikut Murji’ah terpecah menjadi beberapa golongan. Secara garis besar pemikiran
dapat dijelaskan menurut kelompok Jahamiyah: bahwa kufur merupakan
sesuatu hal yang berkenaan dengan hati ataupun, dimana hati tidak mengenal
( jahl) terhadap Allah SWT.[27]
Pada golongan yang lainnya, menyatakan bahwa kufur itu merupakan banyak hal
yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, misalnya tidak mengenal ( jahl) terhadap Allah SWT, membenci
dan sombong kepadanya, mendustakan Allah dan rasul-Nya sepenuh hati dan secara
lisan, begitu pula membangkang terhadap-Nya, mengingkari-Nya, melawan-Nya,
menyepelekan Allah dan dan Rasulnya, tidak mengakui Allah itu Esa dan
menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja
terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati maupun lisan, tetapi bukan dengan
perbuatan, dan begitupun dengan iman30.
Mereka beranggapan bahwa seseorang yang membunuh ataupun menyakiti Nabi
dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti
semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Tetapi, kalau seseorang
mengahalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang
muslim, niscaya diapun disebut kufur.
D.
Ciri-Ciri Aliran Murji’ah
Diantaranya
adalah :
- Rukun iman ada dua yaitu : iman kepada Allah dan Iman kepada utusan Allah.
- Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila meninggal dunia dalam keadaan berdosa tersebut ketentuan tergantung Allah di akhirat kelak.
- Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap seseorang bila telah beriman. Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dosa ya dosa, iman ya iman.
- Perbuatan kebajikan tidak berarti apapun bila dilakukan disaat kafir. Artinya perbuatan tersebut tidak dapat menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga bermanfaat, karena melakukannya sebelum masuk Islam.
Golongan murji’ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam,
sekalipun orang tersebut dzalim, berbuat maksiat dll, sebab mereka mempunyai
keyakinan bahwa perbuatan dosa sebesar apapun tidak mempengaruhi keimanan
seseorang selama orang tersebut masih muslim, kecuali bila orang tesebut telah
keluar dari Islam (Murtad) maka telah berhukum kafir. Aliran Murji’ah juga
menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau menampakkan kekufuran, namun
bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab
penilaian kafir atau tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya,
namun bergantung pada batinnya. Sebab ketentuan ada pada I’tiqad seseorang dan
bukan segi lahiriyahnya.
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau
terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa
besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Kaum Murji’ah muncul
adanya pertentangan politik dalam Islam. Dalam suasana demikian, kaum Murji’ah
muncul dengan gaya dan corak tersendiri. Mereka bersikap netral, tidak
berkomentar dalam praktek kafir atau tidak bagi golongan yang bertentangan.
Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang–orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena halnya Tuhan-lah yang mengetahui
keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar
itu dianggap mukmin dihadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar
itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad
sebagai Rasul-nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa
besar masih tetap mengucapkan dua kali masyahadat yang menjadi dasar utama dari
iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Alasan
Murji’ah menganggapnya tetap mukmin, sebab orang Islam yang berbuat dosa besar
tetap mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad adalah
rasulnya.
DASAR
PEMIKIRAN ALIRAN MURJI”AH DAN KELOMPOKNYA
Persoalan teologi dimulai pada masa pemerintahan Usman dan Ali, yaitu disaat
terjadinya pergolakan-pergolakan politik dikalangan umat Islam. Perjuangan
politik untuk merebut kekuasaan selalu dibingkai dengan ajaran agama, sebagai
payung pelindung. Baik bagi kelompok yang menang demi untuk mempertahankan
kekuasaannya, maupun kelompok yang kalah untuk menyerang lawan-lawan
politiknya. Dari sini dapat dikatakan mazhab-mazhab fikih dan aliran-lairan
teologi dalam Islam lahir dari konflik politik yang terjadi dikalangan umat
Islam sendiri, untuk kepentingan dan mendukung politik masing-masing kelompok,
ulama dari kedua kelompok pun memproduksi hadits-hadits palsu dan menyampaikan
fatwa-fatwa keberpihakan.
Adanya
keterpihakan kelompok pada pertentangan tentang Ali bin Abi Thalib, memunculkan
kelompok lainnya yang menentang dan beroposisi terhadapnya. Begitu pula
terdapat orang-orang yang netral, baik karena mereka mengganggap perang saudara
ini sebagai seuatu fitnah (bencana) lalu mereka berdiam diri, atau mereka
bimbang untuk menetapkan haq dan kebenaran pada kelompok yang ini atau itu.[28]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kemunculan aliran Murji’ah dalam sejarah perkembangan ilmu teologi dalam
islam, tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik pada masa itu, yang
dimulai dari pertentangan Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Aliran Murji’ah
merupakan aliran yang berusaha bersikap netral atau nonblok dalam proses
pertentangan yang terjadi antara kaum Khawarij dengan kaum Syi’ah yang telah
masuk pada permasalahan kafir mengkafirkan. Dan dalam perkembangannya Murji’ah
ikut memberikan tanggapan dalam permasalahan ketentuan Tuhan dalam menetapkan
seseorang telah keluar Islam atau masih mukmin. Tipe pemikiran yang
dikembangkan oleh kaum Murji’ah adalah bahwa penentuan seseorang telah keluar
dari Islam tidak bisa ditentukan oleh manusia tapi di tangguhkan sampai nanti
di akhirat. Pembagian golongan Murji’ah
dapat dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu, golongan Murji’ah moderat dan
golongan Murji’ah ekstrim.
B.
Saran
Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat dan juga mampu memotivasi
diri kita agar mampu mengamalkan apa yang telah disampaikan oleh Rasul melalui
perantara-perantara yang telah ditunjuk oleh Allah SWT.
Kami sadar bahwa makalah ini masih sangat jauh dari harapan, namun dengan
adanya sedikit penjelasan dari makalah ini, kami berharap agar teman-teman
semakin ingin tahu dan semakin memperbanyak pengetahuan dengan mencari
sumber-sumber lain, serta dapat memanfaatkan perpustakaan dengan
sebaik-baiknya. Semoga dengan makalah ini kita dapat mempertebal keimanan kita.
Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
v
Al-Asy’ari, Abul Hasan Isma’il. 1998. Prinsip-Prinsip Dasar Aliran
Teologi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
v
Al-Maududi, Abul A’la. 2007. Khilafah dan Kerajaan. Bandung:
Penerbit: Kharisma.
v
Muhammad Al-baqir.Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran- Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press.
v
Syalabi, A. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II .
Jakarta: PT Pustaka Al-Husa baru.
v Nata, Abuddin. 1995.Ilmu Kalam, Filsafat dan
Tassawuf . Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihan. 2007. Ilmu
Kalam. Bandung: CV Pustaka.
[2] Harun Nasution.
Teologi Islam: Aliran - Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta,
1986. Hal.22.
[6] Ibid
[9] Abuddin Nata. Ilmu Kalam, Filsafat
dan Tassawuf , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1995.Hal: 33.
[14] Ibid
[15] Ibid.., Hal.35.
[17] Ibid., Hal.27.
[19] Ibid,. Hal.61.
[20] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II , PT Pustaka Al-Husa baru, Jakarta. 2003.Hal: 29.
[26] Ibid., Hlm.59.
[27] Abul Hasan Isma’il
Al-Asy’ari, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, CV Pustaka.Setia, Bandung,
1998. Hal: 205